Da Perfectionist--

Kim Himchan—Jung Jessica


Dia adalah pria bermata segaris dengan kulit putih yang indah. Kesempurnaannya mampu memikat hati kecilku. Aku menatap sesosok lelaki idaman dihadapanku. Dia, adalah Kim Himchan. Yang dipuja-puja para wanita, dingin namun mempesona. Wajah berandalan namun hati bidadari.

 “Sica?” ia menatapku bingung.

 “N-ne?” aku tersadar dari lamunanku.

 “Ada yang salah denganku?” dia menaikkan salah satu alisnya.

 “Tidak, tidak sama sekali” dengan senyum tipisku, aku yakin itu cara terbaik untuk meyakinkannya.

Dia mengangguk-anggukan kepalanya singkat, lalu meraih secangkir kopi hitam disebelahnya.

 “Chan, kenapa kamu sangat suka kopi?” entah alasan apa yang membuatku bertanya seperti itu.

Matanya menerawang setiap inci dari cangkir tersebut, menyentuhnya singkat lalu berkata, “Kopi itu, melambangkan hidup. Sempurna”

 “Sempurna?”

 “Iya”

 “Tapi, kopi kan pahit”

 “Yang membuat kopi sempurna bukan hanya rasa manisnya. Tetapi juga rasa pahit yang menghadirkan sensasi sendiri. Begitu juga hidup”

Aku mengangguk paham, begitulah dia. Sosok Himchan yang bijaksana dan pandai berkata-kata. Bahkan aku saja yang seorang wanita kalah telak jika beradu argumentasi dengannya.


Menjadi seorang kekasih Kim Himchan menjadi tantangan sendiri untukku. Bukan hanya kebahagiaan yang kudapatkan, tapi juga sindiran pedas dilengkapi tatapan sinis dari perempuan-perempuan kampus. Jangan terkejut jika kalian mendapati bahwa teman kampusku yang perempuan hanya sedikit. Apalagi sahabat. Namun, beruntung tuhan mengirimkan seorang Kim Hyoyeon padaku. Sahabat terbaik, dan terawet. Juga tercerewet.

Aku, Hyoyeon, Himchan, Zelo, dan Eunhyuk memang suka ngumpul. Sekedar mengobrol dan mengisi waktu luang. Selama ini, kami tidak pernah membentuk geng atau kelompok seperti apalah itu. Tapi, kami hanya bersahabat. Entah gosip darimana bahwa kami adalah anak geng.

 “Tidak berasa, kalian berdua sudah bersama selama 2 tahun” ledek Zelo.

Aku dan Himchan hanya tertawa kecil.

 “Nanti, tunggu selesai sidang” jawab Himchan singkat.

Semua memandang Himchan kaget, tidak terkecuali aku.

 “Skripsi?” tanya Eunhyuk dengan ekspresi serius.

 “Diterima. Tinggal siap-siap untuk sidang” Himchan mengedipkan matanya.

Senyuman bahagia mengembang dari bibir kami, yang bukan lain adalah sahabatnya. Kami memeluknya memberi ucapan selamat. Sebentar lagi, Himchan akan menghadapi sidang. Tuhan, luluskanlah dia. Dia menatap mataku lalu tersenyum. Aku membalas senyumannya.


 “Sekarang, kamu sudah lulus Himchan” aku menatap bangga pria tinggi dengan toga dihadapanku ini.

 “Kamu juga sic, kamu juga” intonasinya menunjukkan betapa bahagianya dia. Pasalnya, sulit menurutnya untuk lulus dari sebuah universitas ternama dengan nilai kumlaud.

Aku memeluknya erat, “Kamu hebat, chan”

Dia membalas pelukanku, “Kamu yang lebih sica. Mulai sekarang kita bisa memulai hubungan kita ke jenjang yang lebih serius” dia melepas pelukannya dan mengecup keningku singkat.

Pipiku bersemu merah, aku memukul bahunya singkat. Bagaimana bisa dia mengecup keningku didepan para mahasiswa/i lainnya? Memang gila anak ini.

Aku senang, bangga dan beruntung mempunyai kekasih hebat seperti dia. Aku, bangga mempunyaimu, Kim Himchan.


Butiran pasir putih tersebar luas dan banyak di pantai ini. Aku mengambilnya sebagian dan menjatuhkannya perlahan. Aku duduk di tepi pantai dengan baju krem selutut  dan topi pantai. Kuluruskan kakiku yang tidak dibalut apapun. Angin pantai berhembus lembut membelai rambut panjangku. Beterbangan, rambutku. Ah, aku sangat senang.

Klik

Kali ini Himchan berhasil memotretku dikala aku tidak menyadari kehadirannya. Setelah berusaha bertahun-tahun kali ini dia menang. Dan sekarang dia memenangkan segalanya. Dia mengambil posisi duduk disebelahku. Mengarahkan kamera ke wajah kami. Aku menyiapkan gaya,

“Satu, dua, tiga” Himchan menghitung maju.

Bibirnya mendarat di pipi mulusku. Kami melihat foto-foto yang sejak tadi diambil. Romantis. Nyata. Menggemaskan. Itu gambaranku tentang ‘kita’. Kamu dan aku.

 “1 minggu lagi ya” ucapku mengganti topik.

 “Iya. Sudah tidak sabar ya” balasnya.

 “Aku deg-degan” Kepalaku menunduk malu.

Tangannya meraih tanganku, “Tenang sica, ada aku disini”

Aku menatapnya dan tersenyum, kusenderkan kepalaku dibahunya. Kami terdiam, tenggelam akan keindahan panorama alam yang tersajikan.


Gaun putih panjang yang simple namun elegant, kini sudah membaluti tubuhku. Riasan wajah yang tidak menor membuatku tampak cantik. Aku tersenyum puas melihat pantulan diriku di cermin yang ada. Ternyata, aku cantik juga. Badanku berputar 360 derajat. Lalu tertawa kecil untuk mengungkapkan kebahagiaan.

Pintu dibuka. Seorang pria yang kini terlihat sangat tampan dibalut oleh tuxedo. Tubuhnya mematung, bibirnya terkunci rapat. Tatapannya lurus memandangku. Sementara aku hanya bingung. Ada apa dengannya? Aku mendekat ke arahnya dan memegang pipinya.

 “Ada yang salah?” tanyaku bingung.

 “Kamu” dia berjalan mendekat.

 “Sangat cantik. Ingat, jangan biarkan yang lain jadi jatuh cinta padamu. Kau hanyalah milikku seorang” ia membisikkannya tepat di telingaku, diakhiri dengan mengecup daun telingaku singkat.

Aku hanya tertawa kecil, “Dasar anak kecil”

Dia menjulurkan lidahnya lalu berjalan keluar, “aku tunggu kamu di altar”

Senyuman tipis dengan sendirinya terukir di bibirku.


Semua janji dan ikrar telah kami ucapkan dihadapan tuhan. Janji suci untuk selalu bersama sedih maupun senang, susah maupun tidak. Bagaimanapun keadaan kami, kami telah berjanji agar selalu bersama. Menuntun pernikahan kami menjadi pernikahan yang baik dan tentram.

Dan disinilah aku sekarang. Jendela besar dekat kamar. Menunggu padamnya mentari. Sinarnya sudah mulai surut. Tergantikan gelapnya malam. Pemandangan yang dari dulu aku, dan Himchan sangat suka. Aku menyeruput teh hangatku. Menghirupnya menghadirkan ketenangan yang tidak dimiliki minuman lainnya.

Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dagunya diletakkan diatas kepalaku. Dia menghirup aroma shampoo khasku, dan membenamkan wajahnya di jutaan helai rambutku. Aku hanya terdiam, mengunci mulutku. Membiarkan moment ini terjadi begitu saja. Agar suatu saat nanti, ada hal yang bisa kurindukan, dan kukenang.

“Jika suatu saat aku kehilangan kakiku. Apa kau masih mencintaiku?” tanyaku

“Tentu saja. Setiap hari aku akan mendorong kursi rodamu dan membopongmu” jawabnya mesra.

 “Kalau suatu saat aku kehilangan penglihatanku. Apa kau masih mencintaiku?” tanyaku kembali.

 “Tentu saja. Akan kunyanyikan lagu-lagu indah. Membisikkan kalimat-kalimat cinta. Menunjukkanmu, bahwa hitam belum tentu kelam”

 “Kalau suatu saat aku kehilangan kemampuan berbicaraku. Apa kau masih mencintaiku?”

 “Tentu saja. Kita akan menghabiskan waktu dalam diam. Memperbanyak sentuhan dan membaca”

 “Himchan. Kenapa kau masih mau mencintaiku meskipun keadaan fisik maupun mentalku berubah?”

 “Kuning, merah, biru. Apapun warnamu, aku tetap mencintaimu”


 ---@senimanjsy




gomawo admin:]