Beautiful Coincidence

PART 1

Author: Tia31

Cast: SHINee’s Choi Minho, T-Ara’s Park Jiyeon, EXO-M’s Kris, SHINee’s Taemin, EXO-K’s Sehun

Genre: Romance, Family, (Sedikit) Sci-Fi

Rating: PG-13

 

"Lagi-lagi, chukkhaeyo, Jiyeon-ah. Nilaimu sangat memuaskan." ucap Jung ssaengnim setelah memberikan sebuah map berisikan beberapa kertas. Di atas kertas tersebut tertulis dengan rapi deretan nilai yang tak jauh dari angka 9 & 10.Deretan angka cemerlang yang diraih oleh seorang siswi dengan prestasi menjulang di sekolahnya.

"Gamsahmanida, ssaengnim." jawab siswi tersebut seraya tersenyum. Tak dapat ia pungkiri, gejolak kebahagiaan yang ditambah rasa bangga menyeruak di hatinya.

Park Jiyeon, begitu orang tuanya menamainya. Seorang siswi cerdas yang baru saja kembali menorehkan prestasinya.Beberapa lembar kertas yang terjejer bagaikan kartu sulap, menjadi bukti konkret atas keberhasilannya.

"Sekali lagi, chukkhaeyo. Jangan lupa untuk terus belajar sampai ujian akhir nanti. Kami menaruh harapan besar padamu." Jung ssaengnim mengulurkan tangannya, yang seketika disambut oleh jabatan tangan Jiyeon.

"Ne, sekali lagi, jeongmal gamsahamnida." Jiyeon berdiri dari tempat duduknya setelah memasukkan kembali kertas-kertas tersebut ke dalam map.

"Ne, Jiyeon-ah. Salam untuk eommamu, semoga cepat sembuh, ne." ujar Jung  ssaengnim. Rasa bangga terhadap muridnya membuatnya terus menerus menyunggingkan senyumnya untuk Jiyeon.

"Aku pergi dulu. Annyeonghaseyo." Jiyeon membungkuk dan meninggalkan kelasnya yang masih dipenuhi beberapa orang tua yang mengantre untuk mengambil rapor anak mereka.

Tak seperti Jiyeon, orang tua teman-temannya yang dapat menyempatkan diri untuk mengambil rapor mereka, Jiyeon harus mengambil rapornya sendiri dikarenakan eommanya yang terbaring lemah di kasur.

Sambil melangkahkan kakinya menuju gerbang depan sekolahnya, Jiyeon terus memperhatikan deretan nilainya. Eomma pasti senang mendengarnya, batin Jiyeon. Menjadi anak yang berhasil dan membahagiakan eommanya adalah satu-satunya harapan baginya saat ini.

BRUK

Kini kertas-kertas yang berada di dalam map jatuh berantakan karena tubrukan yang baru saja terjadi antara Jiyeon dan seorang namja paruh baya.Namja tersebut buru-buru mengambil kertas-kertas tersebut dan dengan tidak sengaja matanya menangkap deretan nilai yang terpampang jelas di kertas tersebut.Namja itu berdiri dan menatap Jiyeon yang masih terkejut karena tubrukan tersebut.

"Jweosonghamnida." ucapnya singkat kemudian memberikan kertas-kertas yang sudah iya masukkan kedalam map.

"Ah, ne. Gwenchanayo." jawab Jiyeon singkat lalu beranjak meninggalkan namja tersebut.

"Chakkaman, agassi." suara dari namja tersebut membuatnya Jiyeon menghentikan langkahnya.

Namja tersebut terus memandangi Jiyeon.Ia menatapnya mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kini dua jarinya yang terbuka mengelus-elus dagunya menandakan bahwa ia sedang berpikir. Bukan orang mampu, pikirnya.

Sedangkan Jiyeon berkutat dengan pikirannya, namja tersebut mengenakan setelan kemeja yang dibalut dengan jas serta dasi yang rapi.Bukan orang kantoran, tapi... seperti pelayan-pelayan di drama-drama yang ada di tv, batinnya.

Pakaian lusuh, sepatu kotor yang dikenakan Jiyeon membuat namja tersebut berpikir keras. Terlebih potongan rambut panjangnan berantakan membuatnya berpikir bahwa yeoja yang ada di hadapannya ini adalah jawaban dari masalahnya.

"Mianhaeyo, ada apa, ahjussi?" Jiyeon yang sedari tadi merasa terus diperhatikan membuatnya bertanya.

"Ah anni. Agassi, bisa saya minta nomor telepon anda?" tanyanya ramah.

"Nomor telepon?" Jiyeon membeo. "Untuk apa?"

"Ada yang ingin saya bicarakan setelah ini."

Jiyeon yang mulai curiga memilih untuk menggelengkan kepalanya.Ia menatap bingung namja tersebut kemudian melangkahkan kakinya dari tempat tersebut.Hasratnya untuk memberi tahukan eommanya tentang hasil rapornya membuatnya berjalan lebih cepat menuju pintu gerbang tanpa menghiraukan suara panggilan namja yang menabraknya tadi.

Setelah mencapai pintu gerbang, Jiyeon mengubah mengubah langkahnya menjadi lebih cepat ke arah halte bus terdekat dari sekolahnya. Tak lama, sebuah bus melintas dihadapannya dan berhenti. Jiyeon segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus.

Sesampainya di rumah, Jiyeon langsung melintas melewati ruang tamunya yang kecil. Tak menunggu lama, ia langsung masuk ke kamar satu-satunya yang ada di dalam rumah tersebut.

"Eomma." serunya saat melihat eommanya yang berbaring di atas tempat tidur.Eommanya tersenyum karena melihat wajah Jiyeon yang merona.Ia tahu, anak satu-satunya pasti lagi-lagi meraih kesuksesannya dalam bidang akademik.

Shim Yoondae, seorang janda yang baru saja menginjak 40 tahun kini terbaring lemah di tempat tidurnya karena serangan stroke yang menyebabkan bagian tubuh kanannya tak dapat berfungsi. Sejak beberapa bulan lalu, Yoondae hanya dapat berbaring di tempat tidurnya tanpa bisa mencari nafkah untuk anak semata wayangnya, Park Jiyeon.

Appa Jiyeon, Park Jungsoo telah meninggalkannya saat Jiyeon menginjak 1 tahun karena kecelakaan di tempat kerjanya. Sejak itu, Yoondae harus bekerja sebagai pengasuh balita atau biasa di sebut baby sitter.

Jiyeon menjulurkan tangannya beserta mapnya sambil tersenyum lebar pada eommanya.Yoondae langsung meraihnya dan mulai membukanya.

Matanya berbinar menatap Jiyeon kemudian membentangkan tangannya agar Jiyeon dapat memeluknya kemudian mengelus kepala Jiyeon, "Chukkhaeyo, sayang. Eomma tahu kau pasti bisa."

***

Jiyeon baru saja turun dari keretanya.Ia harus segera menemui kliennya yang berada di dalam stasiun.

Sejak eommanya sakit keras, Jiyeon harus menghidupi dirinya sendiri dan eommanya. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk bergabung dengan Seouveler, sebuah agensi tour guide yang cukup terkenal di Korea. Meski begitu, Jiyeon masih belum bisa dikatakan sebagai tour guide profesional sedang ia belum menyelesaikan sekolahnya.

Jiyeon memutuskan untuk memilih pekerjaan ini karena pekerjaan inilah yang paling cocok dengannya.Angka 10 tak pernah henti-hentinya tertulis dengan rapi di deretan nilai Matematika, Biologi, Sejarah dan Bahasa Inggris.

Oleh karena itu, dengan mengandalkan kemampuannya dalam menghafal bangunan-bangunan bersejarah dan kemahirannya dalam Bahasa Inggris, Jiyeon memilih untuk bekerja menjadi tour guide.

"Excuse me. I'm Park Jiyeon from Seouveler.Are you guys Joanna Leroux and Felix Skalle?" ucap Jiyeon dalam Bahasa Inggris saat menghampiri kliennya yang berasal dari Perancis.

Setelah melihat tulisan Seouveler di kaus yang Jiyeon kenakan, kedua turis tersebut mengangguk, "Yes. Are you ah..." seorang yeoja bernama Joanna terlihat mencoba meningingat nama lengkap seorang tour guide yang berada di hadapannya.

"My name is Park Jiyeon." jawab Jiyeon sambil menyunggingkan senyumannya.

Joanna dan Felix sedikit tercengang, baru kali ini mereka melihat ada orang yang tersenyum dengan mata tertutup.Jelas, kali ini mereka berada di Korea, bukan di Paris.Tubuh yang tak terlalu tinggi, kulit putih langsat dan mata sipit sempat membuat mereka menyamaratakan wajah orang-orang di sini.

Jiyeon yang sudah terbiasa dengan wajah-wajah turis yang jauh berbeda dengan wajah orang-orang yang berada di tanah airnya hanya dapat tersenyum.

Jiyeon mulai mengajak mereka ke Insadong yang letaknya tak begitu jauh dari stasiun tersebut.Hanya dalam waktu 20 menit, kedua turis klien Jiyeon kini dapat melihat deretan bangunan tua yang kini terlihat jelas di hadapan mereka.

"So this is Insadong. The old town of Seoul." ujar Jiyeon pada kedua turis yang mulai letih dengan berjalan kaki.Namun tak sedikit punrasa lelah tersirat dari wajah mereka, membuat Jiyeon semakin bersemangat untuk menemani mereka menelusuri deretan gedung tua tersebut.

Dengan sangat fasih dan lancar, Jiyeon terus menerangkan satu persatu bangunana bersejarah yang berada dalam Insadong.Beberapa kali Jiyeon harus menunggu Joanna dan Felix untuk membeli oleh-oleh.

"Agassi?" sentuhan seorang namja di bahu Jiyeon membuatnya menghentikan langkahnya.Jiyeon yang baru saja keluar dari toilet, hanya dapat berbalik badan. "Kau siswi Honguk bukan?"

Jiyeon mengangguk ragu.Ia jelas mengingat pemilik wajah yang berada di hadapannya ini.

Belum sempat Jiyeon melangkah pergi, namja tersebut menarik tangannya. "Aku tahu kau adalah murid pintar. Oleh karena itu, aku akan memberimu pekerjaan yang menggiurkan, eotte?"

Jiyeon mulai berpikir keras. Untuk apa orang ini berada di sekolah? Kenapa orang ini terus mengejarnya? Kenapa ia tidak terlihat seperti orang jahat, justru seperti orang yang kesusahan?

***

Disinilah Jiyeon sekarang, di sebuah rumah mewah.

Setelah memikirkan matang-matang penawaran orang asing yang ternyata adalah seorang kepala asisten rumah tangga bernama Baekho untuk keluar dari Seouveler, Jiyeon kini menjadi seorang guru biologi seorang murid SMA yang belum ia ketahui.

Kini Jiyeon harus menunggu weisamchon yang Baekho maksud di sebuah ruang belajar. Ruang belajar yang sangat nyaman yang Jiyeon pikir tak akan pernah ia nikmati. Enam buah rak buku besar tanpa tutup sempat memanjakan mata Jiyeon, namun ia urungkan niatnya untuk mengambil salah satu buku karena ia tidak ingin berperilaku lancang. Namun sedari tadi, ada sebuah lemari besar yang sangat menarik perhatian Jiyeon.Hanya lemari itu lah yang tertutup dan tidak Jiyeon ketahui isinya.

Rasa penasaran terkadang mampir, karena Jiyeon sendiri belum sempat menanyakan siapa weisamchon yang Baekho maksud.Yang Baekho katakan hanyaweisamchonnya selalu menolak untuk les pelajaran Biologi karena alasan yang sama sekali tak diketahui oleh Baekho dan orang tuanya. Beberapa kali Baekho mendatangkan guru-guru yang berumur tak kurang dari 25 tahun dan selalu menerima penolakan oleh weisamchon tersebut.

Oleh karena itu Baekhoberinsiatif untuk mendatangkan guru yang seumuran dengannya agar weisamchonnya mau belajar Biologi.

Akhirnya Baekho merasa sedikit lega saat Jiyeon menerima tawarannya. Sejak itu, ia tak perlu lagi mendengar celotehan majikannya yang tak mau melihat nilai buruk anaknya di bidang biologi. Tuannya betul-betul menginginkannya menjadi seorang dokter, sama seperti istrinya yang telah meninggalkannya saat melahirkan anaknya.

Suara bising dari arah pintu membuyarkan lamunan Jiyeon.Ia membelalakkan matanya saat melihat orang yang berdiri diambang pintu.

"Park Jiyeon?" suara berat seorang namja membuat Jiyeon menunduk.

Jiyeon tak menjawab.

"Jadi kau gurunya?"

"Ne. Bisa kita mulai pelajarannya sekarang?" Jiyeon mulai membuka tasnya dan mengeluarkan buku biologi satu-satunya yang ia miliki.

Namja itu bergeming.

"Minho? Bisakah kau duduk dihadapanku?" Jiyeon berusaha memintanya dengan lembut. Ia takut Minho akan kembali melakukan hal yang sama seperti minggu lalu.

Tatapan Minho kini mengingatkannya pada kejadian di koridor sekolah yang membuat Jiyeon tak tahu lagi bagaimana cara menyembunyikan malunya.

Saat itu, Jiyeon harus mengambil beberapa buah buku dari ruang guru atas perintah gurunya.Ia berjalan di koridor dengan 40 buku yang terbuka di atas tangan dan lengannya, membuatnya sedikit sulit mengatur keseimbangan tubuhnya.

BRUK

Jiyeon memandangi buku-buku tersebut yang kini berserakan di lantai.Sontak, Jiyeon langsung berjongkok untuk mengambil buku-buku tersebut namun gerakannya terhenti saat matanya menangkap sepasang sepatu mahal yang berada dihadapannya. Seketika ia mendongak dan menyadari siapa yang ada di hadapannya.

BRAK

Sebuah tas mendarat dengan sempurna di atas kepala Jiyeon. "Bodoh." Minho segera beranjak meninggalkan Jiyeon yang kini menjadi pusat perhatian.

"Aku tidak mau." Minho mulai bergegas meninggalkan pintu namun dengan sigap Jiyeon berlari dan menarik tangannya.

Jiyeon bergidik ngeri saat tangan Minho mulai melayang di udara.

"Sudah kubilang, aku tidak mau." ucap Minho sekali lagi.

Yang Jiyeon dapat lakukan saat ini hanyalah bersabar.Ia tak ingin melepaskan pekerjaannya yang satu ini karena gaji menggiurkan yang sudah Baekho janjikan padanya."Kumohon." ucap Jiyeon pelan.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Aku hanya ingin mengajarkanmu."

Minho menghempaskan tangannya yang digenggam oleh Jiyeon. "Aarghh! Terserah kau saja." ucap Minho kesal kemudian masuk ke dalam ruang belajarnya.

Jiyeon mengelus dadanya lega.

"Bisa kita mulai?" tanya Jiyeon sesaat setelah duduk di hadapan Minho yang sama sekali tak memandangnya.

Minho kembali menatapnya namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Hmm.... Mungkin kita bisa mulai dengan bercerita." Jiyeon tersenyum garing yang disahut seringai tajam dari Minho. "Hm... Bukankah kita teman sekelas? Tapi aku tak begitu mengenalmu." Jiyeon kembali tersenyum seraya menggaruk punduknya yang tidak gatal.

Tiba-tiba Minho beranjak dari kursinya dan meninggalkan Jiyeon yang terpaku di hadapannya.Namun Baekho muncul dan menarik tangan Minho, "Weisamchon..."

"Lepaskan." Minho kembali menghempaskan tangan orang yang berada di hadapannya dan menghilang dari hadapan Baekho dan Jiyeon.

Baekho menatap Jiyeon sendu, "Sepertinya pertemuan kali ini cukup."

Jiyeon hanya dapat menghembuskan nafasnya.

"Selama liburan ini, bisakah kau datang kemari untuk mengajari weisamchon?" pinta Baekho yang disambut anggukan oleh Jiyeon. "Kudengar, kalian sekelas, betulkah itu?"

Jiyeon kembali mengangguk kemudian beranjak dari kursinya.Ia mendekat ke Baekho yang berdiri di dekat pintu."Aku akan tetap mencoba." ucap Jiyeon kemudian membungkuk.

"Hwaiting, Jiyeon-ah!" seru Baekho seraya mengepalkan tangannya di udara, mencoba memberi semangat kepada Jiyeon yang mulai melangkah menuruni tangga.

Jiyeon memutuskan untuk lekas kembali pulang.Sebetulnya, melihat wajah Minho saja dapat merusak moodnya yang begitu baik saat mengingat tawaran yang diberikan oleh Baekho.Ia memilih untuk berjalan kaki mengingat jarak rumahnya dengan rumah Minho tak begitu terlalu jauh.

Langkah Jiyeon terhenti saat beberapa orang berkumpul di depan sebuah restoran yang begitu asing bagi Jiyeon. Dapat Jiyeon pastikan bahwa restoran tersebut baru saja dibuka dan pasti sedang mengadakan diskon besar-besaran.

Lao Xin, nama restoran China yang baru saja dibuka hari ini. Nama tersebut mengingatkan Jiyeon pada nama restoran milik teman sekelasnya Wu Fan yang pindah ke sekolah tahun lalu. Wu Fan adalah salah satu saingan terberat Jiyeon, meski begitu, Wu Fan masih belum bisa mengalahkannyam. Ranking Wu Fan selalu berada tepat dibawah Jiyeon.

Iseng, Jiyeon berjalan masuk ke dalam dan menemukan Kris, begitu ia biasa di panggil sedang berdiri sambil mengobrol dengan seorang berseragam pelayan di sebelah resepsionis.

Seketika pipinya Jiyeon memerah.Jantungnya berdegup kencang.

Jiyeon memang sudah jatuh cinta pada Kris sejak pertama ia melihatnya. Baginya, Kris memiliki pesona tersendiri yang tak dimiliki oleh orang-orang Korea lainnya maupun seperti klien-kliennya yang berasal dari China.

"Jiyeon!" seru Kris saat menyadari kehadiran Jiyeon.Ia melambaikan tangannya berusaha membuat Jiyeon menatapnya.

Reflek, Jiyeon ikut melambaikan tangannya.Ia pun tersipu malu."Kris." jawabnya kemudian melangkah mendekat ke arah Kris.

"Jiyeon-ah, ayo duduk." Kris menarik tangan Jiyeon lembut. Ajakan Kris sama sekali tak dapat Jiyeon tolak, akhirnya ia memutuskan untuk menuruti Kris dan duduk di sebuah kursi. "Selamat datang!"

"Gomawoyo. Tapi... sepertinya aku harus pergi." ucap Jiyeon sungkan. Ia tahu, ia tak akan mampu membayar makanan yang ada di restoran mewah ini. Dari arsitektur dan cara pelayanannya saja, Jiyeon sudah dapat memperkirakan berapa harga sepiring fuyung hai yang akan memanjakan lidah pelanggannya.

"Ah jangan pergi dulu. Ayolah, aku yang traktir. Hari ini kami mengadakan diskon besar-besaran tapi khusus untukmu, kuberikan gratis." Kris tersenyum renyah pada Jiyeon.

"Tidak usah, Kris-ah." Jiyeon langsung bergegas berdiri namun Kris menahan tangan Jiyeon yang sedari tadi terletak di atas meja.

"Ayolah. Anggap saja ini adalah traktiran sebagai teman." Kris berusaha meyakinkan Jiyeon yang terlihat berpikir. "Ayolah~ Ah kami punya menu terbaru, kau harus mencicipinya."

Kris beranjak dari kursinya dan menghilang dari hadapan Jiyeon.Jiyeon kini hanya dapat menghembuskan nafasnya. Sebenarnya, ia tidak ingin menerima bantuan orang seperti ini, tapi ia rasa ini bukanlah bantuan melainkan bagian dari pertemanan.

Sambil menunggu Kris yang tak kunjung muncul, Jiyeon terus membayangkannya. Betul-betul sempurna. Tampan, kaya, baik dan sangat pintar.Jiyeon cukup mengenalnya karena beberapa kali diikut sertakan dalam satu kelompok lomba atau tugas sekolah.

Akhirnya Kris datang dengan didampingi beberapa orang yang membawakan beberapa nampan.Jiyeon yang melihatnya hanya dapat tercengang.Mereka menaruh semuanya sesuai perintah Kris.

Jiyeon menelan ludahnya sambil melihat Kris yang menarik kursi dihadapannya. "Ayo, mari makan." Kris mengambilkan sepasang sumpit kemudian memberikannya pada Jiyeon.

Jiyeon hanya dapat tersenyum sungkan.Rasanya tidak enak jika harus begini.Lima jenis makanan kini sudah terhidang dihadapannya lengkap dengan tiga jenis minuman.

Kris yang mulai menyantap makanannya menyadari bahwa Jiyeon tak sedikit pun bergerak, "Kenapa? Mari makan." tegur Kris sambil mengulaskan sebuah senyum yang selalu membuat Jiyeon meleleh.

Jiyeon kembali mengangguk tanpa menjawabnya dan mulai menyumpit sesendok mie.Baru saja mie tersebut masuk ke dalam mulutnya, Jiyeon langsung jatuh cinta pada rasanya.

Kris sedari tadi memperhatikan Jiyeon yang terus tersenyum saat menyantap mie baru yang ia racik sendiri, "Kau menyukainya??" tanya Kris antusias.

"Ne. Kkkk." jawab Jiyeon sambil tersenyum renyah.

"Jinjjayo?? Kau tahu, itu mie buatanku."

"Geurae? Ternyata kau pandai memasak juga." pujian Jiyeon sontak membuat Kris tersanjung.Ia tak dapat menyembunyikan semburat merah di wajahnya. "Ah... Kkkk."

"Jeongmal gomawoyo." jawab Kris yang masih tersipu. "Oh ya, ayo makan yang lainnya. Semuanya adalah buatanku."

"Kau benar-benar jago memasak ya? Whoaa daebak!" setelah memuji Kris habis-habisan, Jiyeon mulai menyumpit makanan lainnya.

Sayang, Jiyeon tidak dapat menyicipi seluruh makanan yang berada di meja karena perutnya kini betul-betul penuh.Sedari tadi Kris memaksanya untuk menyantap habisa satu persatu.

"Ah, apa kau sudah tidak kuat lagi? Mianhae." ucap Kris menyesal.

Jiyeon tersenyum sambil menggeleng, "Gwenchana. Tapi, demi apa pun masakanmu enak sekali." puji Jiyeon lagi.

"Ahh gomawo. Oh ya, biar kuantar kau pulang ya." Kris berdiri dari kursinya dan merogoh saku celananya kemdian mengeluarkan sebuah kunci motor lengkap dengan dompetnya.

Jiyeon buru-buru berdiri dan menahan tangan Kris. "Jeongmal gomawo. Aku pulang sendiri saja.Lagipula, rumahku dekat darisini." tolaknya halus sambil tersenyum.

"Ayolah, gwenchana."

"Anniya, nan jeongmal gwenchana. Aku pergi dulu.Sekali lagi, jeongmal gomawoyo. Annyeong." Jiyeon membungkukan badannya dan dengan cepat menghilang dari hadapan Kris.Tak bermaksud untuk tidak sopan, Jiyeon hanya tidak ingin merepotkan Kris lebih jauh lagi.

***

Jiyeon membuka matanya di pagi hari saat matahari berusaha menyelusup masuk ke matanya."Selamat pa..." kata Jiyeon terhenti saat menyadari tak ada eommanya yang berbaring disebelahnya seperti setiap pagi.

Jiyeon langsung bangun dari tidurnya dan turun dari tempat tidur. "Eomma! Eomma!" suara teriakannya bergema di ruang tamunya yang sempit.Namun akhirnya Jiyeon melihatnya eommanya yang sedang mengiris bawang di dapur. "Eomma?"

"Ah Jiyeon." jawab Yoondae saat mengambil seulas bawang untuk dicincang. Yoondae yang hanya dapat berdiri dengan tongkat, harus duduk di kursi agar dapat dengan mudah memotong bawang di meja.

"Eomma, sudah kubilang eomma tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah." Jiyeon mengambil pisau yang eommanya pegang. "Biar aku saja yang mengerjakan semuanya."

Yoondae tetap berusaha menggapai pisau dari genggaman Jiyeon namaun Jiyeon buru-buru menangkisnya dengan lembut."Biar aku saja." ucapnya kemudian membawa Yoondae kembali ke kamarnya.Mau tak mau, Yoondae harus menuruti kata anak kesayangannya tersebut.

Jiyeon mulai merapikan rumah dan memasak. Setelah selesai memasak kimchi, ia buru-buru masuk ke dalam kamar untuk memberikan semangkuk untuk eommanya yang sudah kelaparan. "Ini, eomma makan yang lahap ya." ucap Jiyeon kemudian menaruh mangkuk kimchi tersebut diatas meja tempat tidur eommanya.

"Gomawoyo, sayang."

Tiba-tiba handphonenya yang berada di meja belajar bergetar. Buru-buru Jiyeon melihat dan mendapati sebuah pesan masuk dari Baekho.

Baekho Ahjussi

Annyeong.

Jiyeon-ah, bisakah kau datang pukul 9 pagi ini? Aku akan mengusahakan weisamchon agar mau belajar. Gamsahamnida.

Jiyeon kembali teringat wajah sangar yang dimiliki oleh Minho. Ia menatap wajah eommanya, seakan memberinya semangat.

Park Jiyeon

Baiklah, ahjusshi. Aku akan segera datang.

Terkirim. "Eomma, aku mandi dulu. Aku harus pergi mengajar." ujar Jiyeon yang diiringi anggukan serta senyuman dari eommanya.

Setelah selesai mandi, Jiyeon lekas mengganti bajunya dengan pakaian santai. Ia juga memasukkan satu-satunya buku biologi yang ia miliki dan beberapa alat tulis seadanya. Tak lupa juga, ia menyiapkan mentalnya untuk menghadapi Minho. Ia tahu, hari ini pasti tidak akan lebih ringan daripada hari kemarin.

"Eomma, aku pergi dulu."

"Ne, hati-hati di jalan, Jiyeon-ah." Yoondae mengacak-acak rambut panjang Jiyeon saat Jiyeon sedang mengenakan kaus kakinya.

"Ne eomma. Eomma hati-hati di rumah." jawab Jiyeon kemudian melangkah keluar kamar dan menuju pintu keluar rumahnya. Setelah mengunci pintu, Jiyeon langsung berjalan kaki menuju perpustakaan yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Hanya butuh waktu 15 menit, Jiyeon kini sudah sampai di sebuah perpustakaan sederhana.

Terkadang, sepulang sekolah atau sebelum melaksanakan pekerjaan sampingannya, Jiyeon mampir ke perpustakaan tersebut. Perpustakaan tersebut tidak memungut bayaran jika buku yang dipinjam tidak bawa pulang, oleh karena itu Jiyeon memilih perpustakaan tersebut.

Saat Jiyeon mencoba memilah-milah beberapa buku yang berada di rak, tiba-tiba matanya menangkap sosok Kris yang berada di seberang rak, membuat keduanya tertawa bersama.

Kris segera berlari kecil mengitari rak tersebut dan menghampiri Jiyeon. "Annyeong!" ucapnya sambil melambaikan tangannya di hadapan Jiyeon.

Jiyeon yang kini terpesona oleh senyuman Kris hanya dapat tertawa seraya melambaikan tangannya juga. Tanpa Jiyeon sadari Kris sudah menyodorkan sebuah buku kedokteran dihadapannya.

"Kau menyukai bidang kedokteran bukan?" tanya Kris saat menangkap ekspresi bingung dari wajah Jiyeon.

Jiyeon mengangguk cepat, "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

"Hmmm." Kris melongos cepat. "Sixth sense." ia kembali mencari buku-buku yang tersusun rapi di rak.

"Ya! Katakan padaku." Jiyeon berusaha menghampiri Kris namun Kris mulai mempercepat langkahnya hingga berlari. Jadilah mereka berdua berlari-larian diantara rak-rak.

"YA! Kalian! Dilarang berisik disini. Ini perpustakaan!" suara seorang yeoja tua sukses membuat mereka berhenti namun mata Jiyeon seketika terbelalak saat menyadari bahwa kini wajahnya terbenam dalam dada bidang Kris.

Seketika, jantungnya berdetak lebih kencang namun Jiyeon juga dapat merasakan suara detakan yang tidak beraturan dari dada Kris. Dengan canggung, Jiyeon buru-buru melepaskan pelukan tidak sengaja yang baru saja terjadi diantara mereka.

"Ah mianhae." ucapnya canggung.

"Nado mianhae." jawab Kris singkat.

Jiyeon yang menyadari waktunya di perpustakaan sudah terlalu lama, segera melihat jam tangannya. Benar saja, ia akan terlambat jika tidak lekas menuju halte bis.

"Kris-ah, aku pergi dulu." ucapnya sambil melambaikan tangan.

Sebelum Kris dapat menahannya, Jiyeon sudah berada di ambang pintu. Jiyeon tidak ingin terlambat sehingga gajinya dipotong.

Ia terus berjalan menuju halte bus terdekat. Sesekali ia menengadahkan tangannya untung menampung daun-daun musim gugur yang berjatuhan. Angin berhembus semakin membuainya dalam khayalan akan Kris. "Ah namja itu..." gumamnya sesaat sebelum duduk di halte bis.

Baru beberapa saat menghidupkan headphonenya untuk mendengarkan lagu, Jiyeon dapat mendengar suara motor yang bergema di kupingnya. Ia menolehkan kepalanya dan mendapati Kris yang sedang  duduk di atas motor -yang ia yakini adalah motor mahal- tengah membuka helmnya.

"Kris?" gumamnya.

"Jiyeon!" panggil Kris. "Kau mau kemana?"

Untuk mempermudah berkomunikasi, Jiyeon memilih untuk menghampiri Kris. "Aku mau pergi ke rumah Minho."

Kris sedikit membelalakkan matanya, mencoba menyembunyikan rasa kagetnya, "Untuk apa?" tanyanya.

"Aku akan mengajarnya."

"Mengajarnya?"

"Ne. Hehehe. Aku bekerja sebagai guru privatnya."

"Kalau begitu, biar kuantar."

"Ah tidak usah. Gomawoyo, Kris-ah."

"Anniya, nan gwenchana." bantah Kris. Jiyeon pun menggaruk kuduknya. Ia tak mungkin terus-terusan menerima bantuan dari Kris.

Jiyeon terlihat berpikir sedang Kris menunggu jawabannya. "Kau sudah terlalu banyak membantuku."

"Ya! Tidak perlu sungkan begitu. Aku tidak apa-apa." tangkis Kris. Akhirnya Jiyeon mengalah dan segera naik ke motor Jiyeon. Karena mengebut, dalam waktu sepuluh menit mereka sudah sampai di depan rumah mewah milik Minho.

Jiyeon segera turun dan mengembalikan helm yang tadi Kris pinjamkan. "Ah jeongmal gomawo, jeongmal gomawo." ucapnya sambil membungkuk.

"Cheonmaneyo. Kapan pun kau membutuhkanku, kau bisa memanggilku." ucap Kris kemudian memakai kembali helm yang tadi ia lepas hanya untuk berbicara dengan Jiyeon.

"Ne. Annyeong."

Setelah melambaikan tangan pada Kris. Jiyeon langsung menekan bel rumah Minho. Tanpa tunggu lama, Baekho langsung muncul dan membukakan pintu utuk Jiyeon. "Annyeonghaseyo." sapa Jiyeon sambil membungkuk.

"Annyeonghaseyo." jawab Baekho kemudian membawa Jiyeon ke ruang belajar yang sama seperti kemarin.

Jiyeon kembali harus menunggu. Penantian yang sangat panjang, sampai kurang lebih dua jam namun Minho tak kunjung menampakkan dirinya. Tak berbeda dengan Baekho, ia hanya mengatakan bahwa akan membangunkan weisamchonnya yang tukang tidur.

Jiyeon terus memperhatikan jam dinding ruangan tersebut. Sedari tadi, hanya dinginnya AC dan sunyinya suana yang menemaninya. Ia terus meneguhkan hati dan bersabar. Mengingat eommanya yang sedang terbaring di rumah adalah penyemangat terbaik baginya.

Jiyeon menatap Baekho yang muncul dari balik pintu. "Weisamchon segera datang." ucapnya kemudian membukakan pintu lebar-lebar. Minho akhirnya muncul dan menatapnya tajam.

Tatapan Minho sontak membuat Jiyeon menghembuskan nafasnya. It's gonna be an exhausting day, batinnya. Baekho meninggalkan Minho yang masih berdiri di ambang pintu. Ia menghampiri Jiyeon dan berbisik. "Berusahalah, kami mohon."

Jiyeon tak menjawabnya, hanya anggukan yang ia berikan pada Baekho.

Ia berusaha tersenyum pada Minho, "Annyeong."

Minho tak menjawab kemudian berbalik badan. "Tunggu, weisamchon!" Baekho segera berlari ke arah Minho. "Masuklah terlebih dulu ke dalam."

"Ne, Minho. Bisa kita mulai pelajarannya?" Jiyeon mengatakannya denan hati-hati, mengundang amarah Minho.

"Siapa yang menyuruhmu memanggilku dengan sebutan seperti itu, huh!?" sahut Minho lantang, membuat Jiyeon bergidik ngeri.

Ia berdiri dan membungkuk kepada Minho, "Jweosonghamnida, weisamchon." ucapnya.

"Permisi, ada telepon dari sajangnim." ucap Baekho kemudian keluar dari ruangan. "Weisamchon, saya mohon anda tunggu sebentar."

Minho hanya mematung tanpa melakukan apa pun. Hal tersebut mengundang tanya bagi Jiyeon, kenapa ketika mendengar sajangnim ia justru berubah.

"Weisamchon, sajangnim ingin bicara pada anda." Baekho tiba-tiba masuk dan menunjukkan ponselnya pada Minho. Minho yang sedikit memberikan ekspresi kaget buru-buru mengangkat teleponnya.

"Yeoboseyo?"

"..."

"Aku baik-baik saja."

"..."

"Jemput? Jam berapa?"

"..."

"Ah ne."

"..."

"Annyeong."

Yang dapat Jiyeon dengar hanya suara Minho yang tiba-tiba melembut. Jelas berbeda dengan caranya berbicara pada Jiyeon dan Baekho. Jiyeon langsung mengambil kesimpulan bahwa ia takut pada appanya.

"Weisamchon, sajangnim bilang, weisamchon harus belajar." ucap Baekho hati-hati.

Minho menunduk dan menghela nafasnya. Ia menatap Jiyeon yang menatapnya penuh harap. "Yasudah." ucapnya sontak membuat Baekho berbinar.

Baekho buru-buru membuka lemari yang sedari tadi masih menjadi perhatian utama Jiyeon. Jiyeon bersorak dalam hatinya, akhirnya dibuka juga.Matanya berbinar saat melihat deretan buku kedokteran dan semua hal tentang biologi.

"Whoaa!" gumam Jiyeon namun buru-buru ia menutup mulutnya sebelum yang lain mendengarnya.

Setelah mengambil kira-kira 10 buku, Baekho langsung menaruhnya di meja besar kemudian menarik kursi untuk Minho. "Silahkan, weisamchon." ucapnya kemudian keluar dari ruangan tersebut.

Sementara Jiyeon sedaritadi hanya menatap rak buku yang berukuran raksasa tersebut dengan perasaan kagum. Betapa beruntungnya orang ini, batinnya.

Pandangan Jiyeon teralihkan saat menyadari Minho yang berlari ke arah pintu, "YA! JANGAN KUNCI PINTUNYA!" ucap Minho sambil memukul pintu. Namun sama sekali tak ada jawaban.

"Baekho akan membukakanya dua setengah jam lagi." ucap Jiyeon.

Minho menghela nafas dan menatapnya tajam. Jiyeon menatapnya sambil menelan ludahnya. Akhirnya Minho duduk di kursi yang sudah Baekho siapkan dan diam seribu bahasa.

"Bisa kita mulai?"

Minho tak menggubrisnya.

Jiyeon mulai mengeluarkan bukunya dan bangun dari kursinya. Ia melangkah menuju sebuah papan tulis besar dan mulai menulis dengan spidol yang sudah disiapkan.

Ia memilih sistem peredaran untuk pelajaran pertama. Sesekali ia menoleh dan memandang Minho yang menengadahkan kepalanya ke atas dan melipat tangannya di dada. Setidaknya ia tidak memberontak, ucap Jiyeon dalam hati.

Setelah selesai menulis, Jiyeon langsung menutup spidolnya dan berkata pada Minho, "Minho, bisa lihat kesini sebentar?"

Minho hanya menoleh dan menatap Jiyeon dingin.

"Baiklah, darah tersusun dari 4 bagian. Yang pertama adalah leukosit, atau sel darah putih, eritrosit, yaitu sel darah merah, trombosit, atau keping darah dan cairan darah atau biasa disebut plasma darah..." tutur Jiyeon panjang lebar seraya mengarahkan spidolnya ke tulisan yang sudah ia buat, persis seperti seorang guru.

Sedang Jiyeon susah payah menjelaskan, Minho hanya menguap tanpa betul-betul memperhatikannya.

 Akhirnya dua jam kurang lima belas menit dilalui Jiyeon dengan susah payah. Ia putuskan untuk duduk dan membuat lima buah soal untuk Minho yang masih tak bergeming dari tempat duduknya dan tidak mengatakan apa pun.

"Weisamchon, ini soal untukmu." ujar Jiyeon kemudian menaruh kertas dan sebuah sebuah pulpen tepat di hadapan Minho.

Minho kembali menatapnya. "Apa yang kau ingin aku lakukan dengan benda ini?"

"Aku hanya ingin melihat perkembanganmu setelah mendapat pengajaran dariku."

Minho langsung mengambil pulpen dan mulai mengerjakan. Tidak sampai lima menit, soal essay salah seorang gurunya yang dikenal begitu sulit dengan cepat Minho kerjakan.

"Selesai. Kau puas?" Minho memberikan kertas selembar kertas berisi jawabannya pada Jiyeon. Ia menyeringai pada Jiyeon yang menatap tersebut penuh kagum.

"Whoaaa, kau..." Jiyeon menatap pada Minho yang duduk dengan tenang di tempatnya. "Kau bahkan lebih baik dariku."

"Jangan katakan pada siapa pun." Minho beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu.

"Tunggu!" seruan Jiyeon membuat Minho berbalik badan. "Tapi kenapa?"

"Bukan urusanmu."

***

PART 2

Author: Tia31

Cast: SHINee’s Choi Minho, T-Ara’s Park Jiyeon, EXO-M’s Kris, SHINee’s Taemin, EXO-K’s Sehun

Genre: Romance, Family, (Sedikit) Sci-Fi

Rating: PG-13

 

"Annyeonghaseyo, appa." ucap Minho sambil membungkuk pada appanya yang baru saja keluar dari ruang kedatangan pesawat.

"Ah Minho. Apa kabarmu?" jawab Tuan Choi Yoen Gyeom.

Choi Yoen Gyoem baru saja kembali dari Amerika. Ia diminta oleh kepala pemerintahan disana untuk menangani seorang anak menteri yang sakit keras. Tentu saja, beliau bukanlah seorang dokter biasa. Ia sudah di kenal seantero Korea bahkan beberapa negara maju di dunia karena dedikasinya di bidang kedokteran, yaitu membuat obat untuk penyembuhan penyakit jantung, penyakit yang sampai Yeon Gyeom temukan obatnya, tidak dapat disembuhkan.

"Aku baik-baik saja."

Yoen Gyeom menepuk bahu Minho dan mengajaknya ke tempat parkir untuk segera masuk ke mobil. Yoen Gyeom dan Minho duduk berdampingan di kursi belakang. Hening. Begitulah suasana mobil tersebut.

Minho dan appanya memang tidak terlalu dekat. Sejak kecil Minho sudah ditinggal eommanya dan diasuh oleh baby sitter. Yeon Gyeom terus berpergian keluar kota bahkan keluar negeri. Menjadi salah satu dokter terhebat di dunia betul-betul menyita waktunya untuk anak semata wayangnya, Choi Minho.

"Bagaimana nilai biologimu?" perkataan Yeon Gyeom sukses mengalihkan pandangan Minho dari jendela mobil kepadanya. Minho tak menjawab, ia hanya menunduk.

Yeon Gyeom tak pernah menanyakan nilai Minho yang lain selain Biologi. Ia betul-betul berharap, anaknya nanti dapat menjadi seperti ia dan istrinya.

"Appa dengar, Baekho sudah mencarikan guru baru yang seumuran denganmu. Bahkan dia adalah teman sekelasmu. Apakah itu betul?"

"Bisakah appa menghentikan semua ini? Aku tidak butuh guru biologi. Aku tidak ingin menjadi dokter, seperti apa yang inginkan selama ini." Minho menarik nafasnya kemudian menghembuskannya kembali.

"Pilihan appa selalu menjadi yang terbaik bagimu." jawab Yeon Gyeom lantang. "Appa memintamu untuk les biola dan nyatanya, kau menjadi bintang tamu di Festival Musik Jazz Korea. Appa memintamu untuk berlatih tae kwondo, setelah itu kau dapat dengan mudah mengalahkan juara satu di Seoul. Pilihan appa tidak pernah meleset, Minho-ya."

Minho tertegun. Ia hanya memandang appanya tanpa menjawab apa pun.

"Kali ini, appa akan memohon, bukan meminta lagi."

***

Suara bising mulai terdengar di dapur rumah Jiyeon. Kini Jiyeon sedang memasak dua piring nasi goreng untuk dirinya dan eommanya.

Beberapa bawang sudah ia cincang halus, bumbu-bumbu sederhana lain juga sudah ia siapkan. Kini tinggal memasukkan semuanya dan nasi sisa kemarin yang masih belum habis dari pemanas nasi. Jiyeon mengerjakannya dengan begitu lihai. Sejak eommanya tidak dapat melakukan pekerjaan rumah, Jiyeon tentu dituntut agar dapat menggantikan eommanya.

Kegiatan Jiyeon terhenti saat mendengar ponselnya berdering di saku celananya. Setelah mematikan kompor, Jiyeon langsung membuka sebuah pesan masuk yang dikirimkan oleh Baekho.

Baekho Ahjussi

Annyeong.

Jiyeon-ah, hari ini dan besok, kau tidak usah datang. Weisamchon akan pergi berlibur bersama sajangnim.

Jiyeon sedikit bejingkrak karena senang. "Tidak ada tekanan batin untuk hari ini." gumamnya sambil mulai mengetikan sms balasan untuk Baekho.

Park Jiyeon

Ne, ahjussi. Lusa aku akan datang.

Jiyeon memasukkan ponselnya kembali kedalam sakunya dan mulai kembali memasak. Setelah nasi goreng sederhana yang ia buat matang, ia segera menghidangkannya untuk eommanya terlebih dahulu.

"Ini eomma." ucapnya pada eommanya yang sedari tadi menunggunya di dalam kamar sambil berbaring di atas tempat tidur.

"Gomapta, Jiyeon-ah." jawab Yoondae sambil tersenyum. Ia mulai menyuapkan sendok demi sendok dengan tangan kirinya yang masih bisa ia gerakkan. Sedang Jiyeon menatap eommanya penuh kasih sayang sambil tersenyum tulus.

Yoondae yang menyadari tidak ada sepiring pun yang Jiyeon bawa, akhirnya berbicara, "Kau tidak makan, sayang?"

"Nanti saja. Sebenarnya, saat melihat eomma makan dengan lahap, rasanya perutku yang lapar dapat dengan sendirinya terisi."

Yoondae langsung menaruh piringnya di atas pahanya dan mengacak-acak rambut Jiyeon yang dibalas oleh senyuman manis oleh Jiyeon.

"Eomma bangga punya anak sepertimu."

"Tentu saja eomma harus bangga." jawab Jiyeon kemudian keduanya tertawa bersama.

"Kau ini. Cepat sana makan."

"Baiklah." Jiyeon akhirnya beranjak dari kamarnya dan pergi ke dapur untuk mengambil sepiring nasi goreng. Ia melahapnya dengan perlahan. Mencoba meresapi makanan yang jarang ia nikmati.

Tiba-tiba saja nama Kris melintas di pikirannya. "Kris..." gumamnya sambil tersenyum. Kini Jiyeon mulai membayangkan sikap Kris kepadanya. Saat Kris menghidangkan banyak makanan untuknya, bertemu dengan Kris di perpustakaan, bahkan insiden yang membuatnya tenggelam dalam pelukan Kris.

"Ahh namja itu..." gumamnya lagi kemudian kembali menyendok sesuap nasi ke mulutnya.

Setelah menyantap habis makanannya, Jiyeon memutuskan untuk bersiap-siap untuk pergi ke perpustakaan yang kemarin ia kunjungi. Sedikit banyak tersimpan keingin baginya untuk bertemu dengan Kris kali ini. Namun Jiyeon tak ingin terlalu banyak berharap. Toh masih banyak pekerjaan lain yang harus Kris kerjakan.

Seperti biasa, di waktu luang, Jiyeon pasti membaca beberapa buku di perpustakaan tersebut. Bukan hanya buku pelajaran, namun beberapa novel cinta bahkan novel fantasi berat sudah banyak yang ia lahap.

"Aku pergi dulu. Eomma hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ne?" ucap Jiyeon saat memasukkan ponselnya kedalam tas sandangnya.

"Ne, eomma sudah tahu betul apa yang akan kau katakan sebelum pergi, Jiyeon-ah." Yoondae tersenyum dan menarik selimutnya untuk menutupi sebagian tubuhnya dengan sebelah tangannya.

Jiyeon dengan sergap membantu eommanya yang sedikit kesulitan. Ia mengecup sekilas kening Yoondae dan menguncir rambutnya. "Aku pergi dulu. Annyeong!"

"Annyeong!"

Akhirnya Jiyeon berjalan menuju perpustakaan tersebut.Sesekali Jiyeon layangkan tangannya ke udara hanya untuk menikmati sejuknya udara musim gugur. Beberapa daun berjatuhan di atas kepalanya, membuat Jiyeon beberapa kali harus kembali membersihkan kepalanya.

Langkah Jiyeon terhenti saat melihat sebuah keluarga kecil yang sedang duduk sambil menunggu di halte bis. Sang anak yang memegang balon, tiba-tiba saja menangis karena es krim yang ia pegang terjatuh ke tanah. Appanya yang tidak tega melihatnya menangis kini mulai merengkuh anak tersebut kedalam pelukannya dan menggendongnya. Sedang eommanya sedang mengorek-ngorek tas yang ia sandang, mencoba mencari sesuatu. Akhirnya eommanya mengeluarkan sebuah sapu tangan dan menghapus air mata gadis tersebut.

Jiyeon yang melihat kejadian tersebut mendesah pelan. "Beruntungnya anak itu." ucapnya kemudian kembali meneruskan perjalanannya.

Akhirnya Jiyeon sampai di perpustakaan yang menjadi tujuannya sedari tadi. Buru-buru ia langkahkan kakinya menuju deretan rak-rak berisikan buku kedokteran. Sesekali berharap bahwa Kris akan muncul dengan tiba-tiba seperti kemarin.

Jiyeon menghembuskan nafasnya setelah berkali-kali mencoba memilah-milah buku sambil berharap akan menemukan sosok Kris di hadapannya, namun harapannya pupus sudah. Semua rak sudah ia jamah namun sosok Kris tak kunjung muncul.

Mungkin sedang sibuk dengan restorannya, batin Jiyeon. Ia putuskan untuk membaca buku kedokteran mengenai sistem pencernaan bagi manusia.

Sekitar empat jam Jiyeon membaca buku tersebut hingga tamat. Seakan mendapatkan suntikan energi, Jiyeon kembali bersemangat. Ia tahu betul bahwa buku kedokteran adalah bagain dari hidupnya.

Kini yang Jiyeon inginkan adalah sebuah beasiswa untuk menjadi mahasiswa di Seoul National University, universitas impiannya sejakduduk di bangku sekolah dasar. Namun, beberapa kali hatinya mengatakan bahwa impiannya tak akan tercapai, mengingat dana yang dibutuhkan untuk masuk universitas kenamaan Korea tersebut bukanlah hal yang mudah. Meski begitu, hal itu ia jadikan sebagai motivasi untuk belajar lebih baik dan mendapatkan beasiswa untuk membiayai pendidikannya.

Lamunan Jiyeon tiba-tiba saja terpecahkan oleh suara galak tawa di tengah-tengah suasana sepi perpustakaan. Jiyeon yang mulai risih, kini berbalik mencari sumber suara tersebut.

Seketika matanya membulat dan pipinya memerah. Kris. Saat ini namja yang ia tunggu sedang berada di hadapannya sambil membaca sebuah komik. Suara tawa Kris sukses membuat jantungnya tak berhenti berdegup kencang.

Sempurna

Satu kata yang mendeskripsikan sosok namja dengan dengan kaus hitam polos dan celana jeans di atas lutut itu bagi Jiyeon.

Kris yang menyadari Jiyeon yang berada tak jauh dari tempatnya duduk saat ini akhirnya menghentikan kegiatannya dan menghampiri Jiyeon. "Hey!" sapanya sambil menarik bangku di hadapan Jiyeon.

"Hallo." jawab Jiyeon sedikit gugup.

"Kau sering kesini ya?"

Jiyeon mengangguk namun tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya yang terkunci karena pesona Kris.

"Hmm aku juga tapi jarang sekali bertemu denganmu." Kris menaruh komiknya di atas meja kemudian menatap Jiyeon.

"Hmm mungkin hanya tidak berjodoh saja. Kkkk." jawab Jiyeon.

"Ah ne, ngomong-ngomong, sejak kapan kau menjadi guru les privat Minho?" Kris mulai bertanya pada Jiyeon.

Jiyeon kembali teringat pada sosok Minho yang dingin dan sombong. Tak lupa juga sosoknya yang begitu misterius. Pura-pura bodoh, apa sebenarnya maksudnya? gerutu Jiyeon dalam hati.

Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Jiyeon, Kris melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Jiyeon, "Kau kenapa?"

"Ah anni. Aku mengajarnya sejak tiga hari yang lalu."

"Arrasseo. Apa kau mengajarkannya biologi? Kudengar, nilainya yang paling buruk adalah biologi, padahal setahuku orang tuanya adalah seorang dokter. Ia sering kali harus mengikuti ulangan perbaikan karena nilainya yang sangat buruk, benarkah itu?" tutur Kris panjang lebar.

Mengingat kejadian kemarin, Jiyeon hanya dapat bergumam dalam hati, bahkan dia bisa mendapatkan nilai yang lebih baik dariku. "Ne, aku memang memberikan kursus biologi untuknya." jawab Jiyeon sambil sedikit tersenyum pada Kris.

Kris yang tak kuasa melihat senyuman Jiyeon, akhirnya ikut tersenyum.

Beberapa saat keheningan menyelemuti atmosfer diantara mereka. Tak ada seorang pun yang membuka pembicaraan.

Seketika suara dering dari ponsel Jiyeon memecahkan keheningan. Buru-buru ia merogoh tasnya dan akhirnya menemukan ponslenya.

Eomma.

Nama tersebut kini tertera di layar ponsel Jiyeon. "Yeoboseyo?" sapa Jiyeon.

"Jiyeon-ah!" suara seseorang dari seberang yang tak terdengar seperti suara dari eommanya kini membuat Jiyeon panik.

"Ne?"

"Ini Junshi ahjumma. Eommamu sekarang kejang-kejang. Cepatlah datang!" suara seorang wanita paruh baya di telepon sontak membuat Jiyeon panik.

"Ne ne. Aku akan segera pulang ahjumma." Jiyeon buru-buru menutup teleponnya dan beranjak dari kursinya tanpa berpamitan dengan Kris.

Kris kini hanya dapat mengejar Jiyeon yang berjalan dengan cepat dan akhirnya menarik tangan Jiyeon lembut, "Kau mau kemana, Jiyeon?" tanyanya perhatian.

"Eomma... eomma kejang-kejang di rumah. Aku harus segera pulang. Sampai jumpa."

"Anni biar kuantar. Ayo naik ke mobilku." Kris menunjuk mobilnya sambil menyentuh bahu Jiyeon. Jiyeon yang tak dapat menolak hanya dapat menurut dan masuk ke mobil Kris. "Tunjukkanlah arah rumahmu. Tenang saja, akan kuantar."

"Ne. Gamsahamnida. Kau terlalu baik padaku." ujar Jiyeon sambil memasangkan sabung pengaman ke tubuhnya.

"Apapun untukmu." jawab Kris pelan namun tak terdengar oleh Jiyeon yang kini sibuk dengan pikirannya akan eommanya di rumah.

Beberapa kali Jiyeon memijit-mijit kepalanya selama perjalanan. Ia betul-betul khawatir atas kondisi eommanya saat ini.

Akhirnya mereka sampai di rumah Jiyeon. Rasa prihatin mulai menyeruak di hati Kris. Ini kah rumahnya? batin Kris. Kris tahu betul bahwa Jiyeon bukanlah orang mampu, namun keadaan rumah Jiyeon betul-betul berada di luar dugaannya.

Tanpa tunggu lama, Jiyeon langsung masuk ke rumah dan berlari ke kamarnya. Kini ia melihat eommanya yang kejang-kejang dan seorang tetangganya, Junshi. Tak ada yang dapat Junshi lakukan sedari tadi selain memberikan Yoondae beberapa obat yang tak memberi efek sedikit pun.

"Jiyeon-ah, eommamu."

Belum sempat Jiyeon menjawabnya, sentuhan Kris di bahu Jiyeon membuatnya menoleh kepada Kris. "Kita harus cepat membawanya ke rumah sakit."

Dengan sigap Kris menopang tubuh Yoondae ke mobil. Jiyeon kini hanya dapat merapikan beberapa peralatan Yoondae yang tertinggal di kasur.

"Ahjumma, terima kasih. Eomma akan kami bawa ke dokter." ucap Jiyeon tergesa-gesa.

"Baiklah, hati-hati, Jiyeon."

Junshi akhirnya berjalan keluar dan meninggalkan rumah tersebut. Sebelum meninggalkan kamarnya, Jiyeon tak lupa mengambil sebuah amplop berisikan uang tabungannya. Ia berjalan bergegas meninggalkan rumah dan menguncinya sebelum masuk ke mobil.

"Ke Yongsang Hospital." ujar Jiyeon.

"Kau ini bagaimana? Rumah sakit tersebut tidak akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk nyonya Park." Kris sedikit menaikkan nada suaranya, membuat Jiyeon sedikit bergidik ngeri. "Honjungsang Hospital akan memberikan pelayanan yang lebih baik." ucap Kris dengan nada yang lebih rendah.

Mendengar nama rumah sakit tersebut, membuat Jiyeon sedikit mengintip isi amplop yang ia bawa tadi. Jelas, uang tabungannya tak akan cukup untuk membiayai dana perawatan di rumah sakit bertaraf internasional tersebut.

"Anniya, aku tidak punya uang. Bawa kami ke Yongsang, Kris. Kumohon."

Permintaan Jiyeon sama sekali tak diindahkan oleh Kris, "Masalah dana, kau tak perlu memikirkannya."

"Anni, tolong bawa kami ke Yongsang."

"Anniya, Jiyeon-ah. Dengar kataku. Kau ingin eommamu baik-baik saja kan?" Kris berusaha mengusap kepala Jiyeon dengan tangan kirinya. Ia menatap Jiyeon tulus dan mengulaskan senyum terbaiknya untuk Jiyeon.

***

 Jeju Island.

Disinilah kini Minho berada. Pulau kebanggaan Korea yang terkenal akan keindahannya. Tempat tujuan utama para wistawan mancanegara maupun wisatawan lokal untuk berlibur. Namun tidak bagi Minho.

Pertemuan Persatuan Dokter Korea Selatan.

Tak seperti yang orang lain lakukan di pulau ini, Minho harus menghadiri sebuah pertemuan akbar yang dihadiri oleh dokter-dokter dari penjuru Korea. Kini ia harus duduk di sebelahnya appanya, Yeon Gyeom, salah seorang ketua dari persatuan tersebut.

"Yang terhormat, Dr. Yeon Gyeom sebagai ketua dipersilahkan untuk memberikan kata-kata sambutan. Kepada beliau, kami persilahkan." sesaat setelah mendengar MC yang berbicara di mikrofon, Yeon Gyeom langsung beranjak dari kursinya dan naik ke panggung sedang hadirin yang datang memberikan tepuk tangan yang meriah untuknya.

Tak sama halnya dengan Minho yang hanya diam menatap dingin wajah appanya yang berdiri dengan gagah di atas panggung. Suasana hall termegah di Pulau Jeju yang ramai sama sekali tak berarti baginya.

"Selamat siang. Choi Yeon Gyeom imnida. Saya selaku...."

Kata demi kata yang diucapkan oleh Yeon Gyeom sama sekali tidak ada artinya bagi Minho. Tiada rasa kagum di hatinya, tak seperti hadirin yang hadir.

"Annyeonghaseyo." sapa seseorang yang baru saja duduk di sebelah Minho. Seorang namja yang Minho perkirakan sebaya dengan appanya kini tersenyum pada Minho. Dr. ParkJungsoo. Sebuah nametag yang tersangkut di jasnya menjelaskan bahwa ia adalah salah satu dokter yang diundang ke pertemuan ini.

Nama ini... tapi belum tentu dia orangnya, batin Minho.

"Annyeonghaseyo." jawab Minho ramah.

"ParkJungsoo imnida." dokter tersebut mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Minho.

"Choi Minho imnida."

"Putra Choi Yeon Gyeom yang sangat tampan." pujinya.

"Gamsahamnida, ahjussi."

"Minho, kau pasti akan menjadi dokter yang hebat seperti appa dan eommamu."

"Ne? Ah sekali lagi, gamsahamnida, ahjussi." Minho hanya dapat mengiyakan perkataan dokter tersebut. Ia sedang tidak ingin melayani pembicaraan siapapun saat ini. Setidaknya sampai acara ini selesai.

"Aku pergi dulu. Annyeong."

"Ne, annyeong."

Dokter tersebut beranjak dari kursinya dan meninggalkan Minho. Rasa curiga sedikit meliputi perasaan Minho. Tapi orang yang bernama ParkJungsoo bukan hanya dia, ucapnya dalam hati.

Seketika suara tepuk tangan menyadarkan Minho dari lamuanannya. Kini Yeon Gyeom berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Semua mata tertuju pada Minho dan appanya. Beberapa wartawan mulai mengambil foto keduanya.

***

Jiyeon membuka matanya saatmendengar suara pintu kamar rawat eommanya yang terbuka. Semalaman ia menemani eommanya di rumah sakit. Setelah dua hari di rawat selama kurang lebih dua hari di ruangan VIP yang Kris siapkan, Yoondae akan diperbolehkan untuk kembali ke rumah siang ini.

"Kris?" gumam Jiyeon sambil mengusap matanya. Ternyata yang membuka pintu kamarnya adalah namja tampan bertubuh tinggi, yang sejak kemarin meneman Jiyeon berada di rumah sakit bersama eommanya.

"Annyeong! Ini kubawakan sedikit makanan." tak seperti yang Kris katakan, bukan makanan sedikit yang ia bawa. Dua kotak makanan besar berisi makanan khas China kini berada di dalam tas sandang yang ia bwa.

Jiyeon berjalan mendekat dan melihat barang bawaan Kris, "Kau terlalu baik, Kris." ucap Jiyeon namun Kris hanya mengacak-acak rambut Jiyeon dan menaruh bawaannya di atas meja.

Tirai yang Jiyeon buka membuat matahari pagi menelusup masuk dan membangunkan eommanya. Kini Yoondae terbangun dari tidurnya. "Jiyeon..." serunya dengan mata yang setengah fokus.

Yoondae mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan mendapati Kris yang bangun dari duduknya. "Nak Kris." sapanya sambil tersenyum.

"Selamat pagi, ahjumma. Apa ahjumma sudah baikan?" tanya Kris perhatian kemudian mendekat ke tempat tidur Yoondae.

"Ne, jeongmal gamsahamnida. Nak Kris sudah terlalu banyak membantu."

"Tidak apa-apa, ahjumma. Saya senang membantu."

Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan ke tiganya ke arah pintu. Detik kemudian seorang suster muncul membawa beberapa peralatan untuk memeriksa Yoondae di atas sebuah meja berjalan.

Suster tersebut tersenyum pada Yoondae, "Annyeong. Selamat pagi, Nyonya." sapa suster tersebut begitu ramah.

Sesaat kemudian seorang dokter yang sedari kemarin menangani penyakit Yoondae muncul dengan stetoskop di lehernya. Ia segera mendekat dan mulai memeriksa Yoondae.

Jiyeon dan Kris hanya dapat menunggu sampai proses pemeriksaan selesai. Beberapa kali Jiyeon memperhatikan jam dinding yang berada tepat di atas kulkas dekat tempat tidur eommanya. Pukul 9. Seharusnya ia sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Minho dan memberikannya kursus.

Namun tiba-tiba saja suara ponsel Jiyeon memecahkan keheningan.

Baekho Ahjussi

Annyeong.

Jiyeon-ah, kau bisa datang ke sini pukul 2w siang? Weisamchon masih punya beberapa urusan.

Jiyeon menghela napasnya lega dan segera membalas pesan dari Baekho.

Park Jiyeon

Baik, ahjussi. Aku akan datang tepat waktu.

Tanpa Jiyeon sadari, Kris sudah berdiri dan memberi salam kepada sang dokter dan suster. Ia berbalik kepada Jiyeon dan tersenyum, "Siang nanti ahjumma sudah boleh pulang. Sekarang ia harus tidur."

"Ah nee. Aku harus mulai bersiap-siap." jawab Jiyeon sambil mengambil sebuah tas besar, tempat baju-baju eommanya. Jiyeon menatap Kris yang kini menahan tangannya.

"Bisa tolong temani aku sebentar?" pinta Kris yang dijawab oleh anggukan dan senyuman dari Jiyeon. Jiyeon mengikut langkah Kris keluar pintu tanpa bertanya kemana tujuan mereka saat ini.

Jiyeon dan Kris berjalan melewati lorong utama rumah sakit dalam diam. Masing-masing larut dalam pikiran mereka akan apa yang sedang di pikirkan satu sama lain.

Tiba-tiba seorang dokter yang didampingi oleh dua bodyguard muncul dari arah lobi rumah sakit dan membuat mata Jiyeon terbelalak. "CHOI YEON GYEOM???" serunya namun detik berikutnya, ia menutup mulutnya saat menyadari bahwa suaranya sudah membuat beberapa orang beralih kepadanya.

Jiyeon menatap Kris yang menatapnya bingung, "Ahh aku tahu." ucap Kris. "Kau pasti sangat mengidolakannya bukan?"

Jiyeon mengangguk cepat dan sangat kegirangan. Akhirnya, impiannya selama ini untuk bertemu dokter nomor satu di Korea tersebut tercapai. Cho Yeon Gyeom, salah seorang inspirasinya dalam hidupnya kini berada tepat di hadapannya. Namun kebahagian Jiyeon berlangsung begitu cepat, Yeon Gyeom sedang terburu-buru dan harus segera masuk ke ruangannya.

Kris menggenggam tangan Jiyeon yang kini menunduk, "Setidaknya, kau tahu dimana ia praktek." ujar Kris menenangkan.

"Ia adalah dokter terkenal. Kukira tempat prakteknya pindah-pindah. Mungkin aku tidak akan lagi bertemu dengannya." sesal Jiyeon.

"Kau mau menyusulnya?"

Jiyeon menggeleng cepat dan mulai melangkah lurus. "Hmm tidak. Ngomong-ngomong kita mau kemana?"

"Ke taman belakang, temani aku disana sebentar. Bagaimana?"

"Baiklah."

Akhirnya Jiyeon dan Kris sampai di taman belakang dan memutuskan untuk duduk di bangku taman dekat air mancur. Suasana sejuk menyelimuti mereka saat ini dan kicauan burung betul-betul membuat suasana menjadi lebih damai. Beberapa pasien dengan suster pendamping duduk di bangku taman yang lain dan bercengkrama.

Kris menghirup napasnya dalam kemudian membuangnya, mencoba menikmati suasana pagi yang sangat membuat hatinya damai, terlebih lagi kehadiran Jiyeon yang membuatnya lebih bersemangat.

Sementara Jiyeon sedang berkompromi dengan jantungnya yang kini berdetak lebih cepat. Keheningan di antara mereka membuat Jiyeon takut akan suara detak jantungnya yang kini mulai terdengar oleh dirinya sendiri.

"Jiyeon-ah..." suara Kris memecahkan keheningan.

Jiyeon menoleh dan menatap Kris, "Ne?"

"Sejuk sekali ya?"

"Ah, ne." jawab Jiyeon sambil sedikit tertawa. Ia segera mengedarkan pandangannya agar tidak terlihat canggung. Aktivitasnya pun terhenti saat melihat seorang namja dengan tampan berpakaian rapi duduk di bangku taman yangberada tepat dihadapannya, melihatnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan.

***

Sejak turun dari kapal pesiar dan masuk ke mobil, Minho tak henti-hentinya memandangi pemandangan dari kaca mobil. Pandangannya tak sedikit pun teralihkan oleh aktivitas appanya yang terus berbicara dalam telepon. Yang Minho adalah Yeon Gyeom tak membahas soal obsesinya menjadikan Minho dokter, seperti dirinya.

"Hyunjae, antar kami ke Honjungsang." seru Yeon Gyeom. Detik kemudian, ia mengalihkan pandangannya pada Minho, "Minho-ya, appa akan menunjukkanmu ruangan appa yang baru."

Minho menghela napasnya. Inikah strategi lain dari appanya untuk membujuknya?

"Untuk apa?" tanya Minho dingin.

"Agar kau dapat melihat betapa asyiknya menjadi seorang dokter."

"Tidak ada gunanya bagiku."

Yeon Gyeom tak menjawabnya. Ia kembali asyik dengan komputer tabletnya yang ia genggam sedari tadi untuk mengerjakan pekerjaannya. Di sisi lain, Minho kembali asyik memperhatikan pemandangan yang tersuguh di kaca mobil.

Sekitar satu jam, mereka akhirnya sampai di Honjungsang Hospital. Yeon Gyeom yang notabenenya adalah dokter terhormat disana, didampingin oleh dua pengawal untuk masuk ke lobi dan segera menuju ruangannya.

Minho yang memilih untuk tidak keluar bersama appanya, terpaksa harus menunggu mobilnya untuk sampai di tempat parkir basement lalu turun. Sebelum masuk ke lobi, Yeon Gyeom sudah berpesan pada Minho untuk masuk ke ruangannya. Namun, Minho melakukan hal lain, ia lebih memilih untuk pergi ke taman belakang terlebih dahulu.

Begitu menemukan sebuah bangku kosong di sudut taman, Minho langsung melangkahkan kakinya ke bangku tersebut. Tak ada yang ia lakukan selain tersenyum melihat beberapa orang berseragam pasien terlihat gembira saat bercengkrama dengan kerabat atau pun suster pendampingnya.

Kini pandangannya tertuju pada seorang namja dan seorang yeoja yang sedang duduk bersama di bangku taman. Mereka terlihat begitu mesra di mata Minho. Meski ia tidak dapat mengetahui apa yang mereka bicarakan, Minho dapat melihat ada atmosfer yang berbeda yang menyelimuti mereka berdua.

"Cinta?" gumamnya pelan. "Bahkan cinta dapat dikalahkan oleh obsesi."

Minho menarik sisi kanan bibirnya sambil menatap Jiyeon yang kini menatapnya bingung. Minho buru-buru membuang pandangannya, mencoba tak mempedulikan mereka. Baginya, menikmati suasana pagi dan indahnya penataan taman yang dirancang dengan baik oleh arsitek yang di pilih sendiri oleh appanya lebih penting daripada memperhatikan sepasang sejoli yang kini sedang dimabuk cinta.

Minho merasakan ponselnya begetar di saku celananya. Choi Yeon Gyeom. Kini nama tersebut tertera dengan jelas di layar ponselnya. Tanpa mengangkat panggilan tersebut, Minho bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruangan appanya.

***

Rasa penasaran mulai menyeruak di hati Jiyeon saat melihat Minho yang bangkit dan berjalan menuju pintu masuk ke rumah sakit. Ia memutuskan untuk pamit pergi sebentar kepada Kris.

"Kris, aku permisi ke toilet sebentar." Jiyeon terpaksa berbohong.

"Hmm yasudah." jawab Kris sambil tersenyum.

Akhirnya Jiyeon meninggalkan Kris di taman. Ia sedikit mempercepat langkahnya masuk menuju rumah sakit karena takut kehilangan jejak Minho. Minho yang berjalan dengan santai sepertinya tak mengetahui bahwa kini jejaknya diikuti oleh Jiyeon.

Bagaimana kalau dia naik eskalator? ucap Jiyeon dalam hati. Jiyeon mulai memikirkan beberapa ide agar kemungkinan yang kini berada di otaknya dapat ia pecahkan jika terjadi. Namun beruntung, Minho kini berhenti di depan sebuh pintu.

Sebuah papan bertuliskan nama 'Choi Yeon Gyeom' memberikan kepastian pada Jiyeon bahwa ruangan tersebut adalah ruangan milik Choi Yeon Gyeom.

Jiyeon yang melihat Minho masuk kedalam ruangan tersebut mulai bertanya-tanya. Ia menaruh kedua jarinya di dagu dan menopang lengannya diatas lengan satunya. "Choi Minho... Choi Yeon Gyeom!" serunya namun lagi-lagi ia harus menutup mulutnya, tapi kali ini ia beruntung karena tak ada yang mendengar suaranya.

Sebelum Kris curiga dan mencarinya, Jiyeon putuskan untuk kembali menemui Kris yang masih duduk tenang di taman. Jiyeon menghampiri Kris dan duduk di sampingnya.

"Toiletnya antre?" tanya Kris. Ia tahu betul bahwa toilet terdekat sama sekali tidak jauh dari taman belakang.

"Ne, hehhe. Tadi aku harus mencari toilet lain yang agak jauh." Jiyeon kembali berbohong. "Sudah hampir jam 10. Kurasa kita harus segera kembali ke kamar."

Jiyeon dengan reflek menarik tangan Kris. Mereka pun bertemu pandang secara tidak sengaja. Kini tatapan Kris sukses membuat jantung Jiyeon kembali berdetak tiga kali lebih cepat. Karena gugup, buru-buru ia melapaskan genggamannya dan berjalan terlebih dahulu.

Akhirnya mereka sampai di kamar rawat Yoondae. Karena Yoondae masih tertidur lelap, Jiyeon memilih untuk merapikan barang-barang milik Yoondae dan miliknya. Sedangkan Kris keluar untuk membayar administrasi rumah sakit.

Pukul 12 tepat. Semuanya sudah siap dan Yoondae akan segera kembali ke rumah. Kris akan menyetir mobil dan mengantarkan mereka pulang.

Selama perjalanan, yang ada di pikiran Jiyeon hanyalah sosok Minho. Minho adalah putra Choi Yeon Gyeom? Kini pertanyaan tersebut terus terngiang-ngiang di otaknya. Yang ia tahu, eomma Minho adalah seorang dokter terkenal, namun dokter terkenal yang Baekho maksud tidak ia ketahui sosoknya.

Kini Jiyeon berpikir mengenai Yeon Gyeom. Yang Jiyeon juga tahu, istri dari Choi Yeon Gyeom, Baek Jaeyoon adalah seorang dokter, sedangkan appa Minho, menginginkan Minho menjadi seorang dokter sama seperti eommanya.

"Berarti..." gumam Jiyeon sambil menjetikkan jarinya. "Dia adalah anaknya!"

Kris dan Yoondae langsung menoleh pada Jiyeon. "Anak siapa?" tanya eommanya yang penasaran mengapa anaknya tiba-tiba bersikap aneh.

"Anniya."

***

"Baiklah, eomma. Aku pergi dulu." ucap Jiyeon sambil mencium kening eommanya yang kini sudah berbaring kembali di atas ranjang kamarnya. "Jaga dirimu, eomma. Kabari aku jika ada sesuatu."

"Ne, ne. Kau ini cerewet sekali." jawab Yoondae sambil mengacak-acak rambut Jiyeon.

Kris pun dengan sigap merapikan kembali rambut Jiyeon dan tertawa melihatnya. "Ayo, kuantar." Kris mengeluarkan kunci mobilnya dari sakunya dan tersenyum pada Jiyeon.

"Anni. Biar aku sendiri. Kami sudah terlalu banyak merepotkanmu. Sekali lagi, jeongmal gamsahamnida, kau betul-betul baik pada kami."

Kris menggenggam tangan Jiyeon dan membungkuk pada Yoondae. "Kami pergi dulu, ahjumma."

Jiyeon terpaksa menurut dan mengikuti Kris. Sebelum Jiyeon masuk ke mobilnya, terlebih dulu Kris membukakan pintu untuknya. Kau terlalu baik, Kris.

Tak ada pembicaraan penting yang terucap. Jiyeon yang sedari tadi hanya diam, berkutat dengan pikirannya akan Choi Yeon Gyeom dan Choi Minho, dua orang yang membuatnya betul-betul penasaran. Jika memang betul, kenapa Minho tidak mau menjadi seorang dokter sama seperti orang tuanya, kenapa Minho memilih untuk pura-pura bodoh, kenapa Jiyeon sendiri tak mengetahui bahwa anak dari idolanya bersekolah bahkan di tempatkan di kelas yang sama dengannya.

"Sekali lagi, terima kasih, Kris." Jiyeon yang berdiri dibalik kaca mobil Kris, membungkuk padanya dan tersenyum.

"Kapan pun kau mau, aku akan selalu membantumu." Kris kembali menggas mobilnya dan meninggalkan Jiyeon.

Jiyeon pun akhirnya masuk ke dalam rumah Minho. Di perjalanan menuju ruangan belajar Minho, Jiyeon terus mengarahkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencoba menemukan sebuah foto yang menjadi petunjuk baginya untuk membuktikan bahwa Yeon Gyeom adalah appa dari Minho.

Nihil, tak ada satu pun foto Yeon Gyeom atau barang yang bersangkutan yang Jiyeon temui. Kini Jiyeon justru mendapati Minho yang menatapnya dingin. Jiyeon pun menghembuskan nafas dan duduk dihadapan Minho.

"Hmm..." Jiyeon berdeham untuk memulai pembicaraan.

Namun belum sempat Jiyeon mengelurkan sepatah kata pun, Minho sudah angkat bicara, "Aku tidak butuh pengajaran darimu."

"Lalu... apa yang harus kulakukan?" Jiyeon menjawabnya dengan pelan dan menunduk. Ia tidak mungkin keluar dari pekerjaan ini dan terus bergantung pada Kris yang terlalu baik padanya.

Minho terdiam sejenak, "Baiklah. Sekarang terserah pada dirimu."

Jiyeon mencoba mengumpulkan semangatnya. Ia tak akan keluar dari pekerjaan ini dan kembali menjadi tour guide di Seouveler. "Kalau begitu, aku akan tetap mengajarimu. Bagaimana?" tanyanya sambil memandang Minho. Minho pun menatapnya tajam. "Baiklah... Mungkin kita bisa sharing? Aku tak memungkin memakan gaji buta disini."

"Terserah kau saja."

Akhirnya Jiyeon mengambil spidolnya yang berada di kantong terluar tas sandangnya kemudian bangkit dan mulai menulis di papan. Kali ini, Jiyeon memilih pelajaran sistem pencernaan untuk diajarkan, atau lebih tepatnya untuk sharing bersama Minho. Ia berharap, dengan ini kemampuannya dalam bidang biologi akan bertambah, begitu juga dengan Minho.

"Asam amino essensial terbagi menjadi Metionin, Treosin, Valin, Histidin, Isoleusin, Triptofan, Fenilalanin..." Jiyeon menghentikan kalimatnya dan mulai berpikir kelanjutan dari asam amino yang baru saja ia bacakan.

"Metionin, Treosin, Valin, Histidin, Isoleusin, Triptofan, Fenilalalanin, Arginin, Lisin dan Leusin." Minho mengucapkan nama-nama tersebut dengan cepat, membuat Jiyeon berdecak kagum.

Jiyeon memberi tepuk tangan atas kekagumannya pada Minho. Minho hanya mengacuhkannya dengan cuek. Jiyeon berjalan mendekat dan duduk di hadapan Minho. Ia menatap Minho dengan tatapan serius kemudian sedikit mencondongkan kepalanya dan melipat tangannya di atas meja. "Weisamchon... Kau.....betul-betul je...nius."

"Sudahlah." jawab Minho sambil mengalihkan pandangannya dari Jiyeon.

Jiyeon membuka tasnya dan mencari buku biologinya. Ia mengeluarkan buku biologi tersebut dan sedikit membacanya. Jiyeon kembali bangkit dari duduknya dan menaruh buku biologinya di atas meja dengan keadaan terbuka.

Tanpa Jiyeon sadari buku yang ia taruh kini lembaran-lembarannya berbalik sendiri karena hempasannya. Ketika buku tersebut berhenti, mata Minho langsung tertuju pada selembar foto yang berada di diatas buku tersebut. Ia bangkit dan mendekat. Kini terlihatlah foto appanya dengan pakaian jas rapi dan menunjuk wibawanya serta intelektualnya.

Minho mengambil foto tersebut dengan ibu jari dan telunjuknya kemudian melayangkannya ke udara agar Jiyeon dapat melihatnya dengan jelas, "Jadi kau adalah salah satu dari orang bodoh yang mengidolakannya?"

Perkataan Minho sontak membuat Jiyeon berbalik badan dan mendapati foto idolanya yang kini berada di antara kedua jari Minho. Jiyeon mencoba mengalihkan pandangannya ke Minho. Kini wajah Minho terlihat berkali-kali lipat lebih dingin dari biasanya. "K-kenapa?"

Minho menghempaskan foto tersebut ke lantai kemudian kembali duduk.

Jiyeon mendekat ke Minho dan bertanya, "Dia.... dia appamukan?"

 

PART 3

Author: Tia31

Cast: SHINee’s Choi Minho, T-Ara’s Park Jiyeon, EXO-M’s Kris, SHINee’s Taemin, EXO-K’s Sehun

Genre: Romance, Family, (Sedikit) Sci-Fi

Rating: PG-13

Minho menghela napasnya sesaat dan menatap Jiyeon tajam seraya berpikir. Jiyeon jelas menunggu jawabannya untuk kepastian.

"Jika aku boleh mengatakan tidak, akan melakukannya." jawab Minho pelan, namun Jiyeon masih dapat mendengarnya.

Jiyeon terdiam mendengarkan pernyataan Minho. Jelas, pasti ada yang salah diantara mereka berdua. Hal ini membuatnya semakin penasaran dengan sosok misterius yang kini berdiri di hadapannya dengan tatap datar.

Disaat yang bersamaan, Jiyeon dan Minho mendengar suara dering dari ponsel Minho yang terletak di atas meja. Kemudian Minho mengambil ponselnya dan menjawab telepon tersebut.Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Jiyeon untuk mengambil foto Yeon Gyeom yang terletak di lantai.

Ia memandangi Yeon Gyeom dan Minho bergantian.

Kemungkinan pertama, Minho bukan anak kandung Yeon Gyeom. Jiyeon menggelengkan kepalanya. Ini terlalu dramatis, lagipula mereka betul-betul mirip.

Kemungkinan kedua, Minho benci appanya yang terlalu sibuk. Jiyeon kembali menggeleng. Mana mungkin sampai seperti itu.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Minho dingin setelah mengakhiri pembicaraannya di telepon.

"Anni."

Jiyeon berdiri dan menatap punggung Minho yang menjauh keluar ruangan. Kini tinggal dirinya di ruangan tersebut. Tak ada dapat ia lakukan selain menunggu Baekho muncul.

Beruntung, Baekho dengan cepat datang saaat mengetahui Minho keluar dari rumah dengan mobilnya. Ia menghampiri Jiyeon dan duduk di sebelahnya.

"Weisamchon pergi lagi ya..." Baekho menghela napasnya setelah berkata pelan pada Jiyeon.

Jiyeon hanya mengangguk dan menatap Baekho kasian. Ia sedikit kasihan Baekho yang dituntut untuk menjaga namja seperti Minho. Keras kepala. Bahkan menurut Jiyeon, kepalanya lebih keras daripada batu.

"Ah ne. Besok kan sudah masuk sekolah, tolonglah lebih intensif mengajarinya. Tes masuk perguruan tinggi akan diadakan 3 bulan lagi. Sajangnim betul-betul mengharapkan weisamchon agar masuk ke jurusan kedokteran di universitas terbaik." pinta Baekho dengan lembut pada Jiyeon.

Jiyeon mulai memutar otaknya. Yang harus ia lakukan saat ini bukan mengajari Minho pelajaran yang paling ia benci, tapi bagaimana cara membuat Minho mau mengakui kejeniusannya dan masuk ke universitas terbaik. Namun lagi-lagi sifat keras kepala Minho membuatnya berpikir bahwa niatnya pasti akan penuh dengan rintangan. Mungkin rintangan batin.

"Baiklah, ahjussi. Jam berapa aku harus datang?"

"Langsung setelah pulang sekolah. Kau bisa datang kesini bersama weisamchon. Aku sudah membicarakannya dengan sajangnim."

"Sajangnim? Bolehkah aku bertanya?" Jiyeon mulai menatap Baekho serius.

Baekho memberikan tatapan bingung pada Jiyeon, "Ne? Memangnya ada apa?"

"Apakah sajangnim yang ahjussi maksud adalah Choi Yeon Gyeom?"

Baekho tertawa pelan. Di sekolahnya, memang Minho tidak dikenal sebagai anak Choi Yeon Gyeom. "Ne. Bagaimana kau mengetahuinya?"

"Tadi pagi aku melihat weisamchon masuk ke ruangan Dokter Choi Yeon Gyeom."

***

Minho menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah bernuansa klasik. Ia lalu mencari kontak seorang sahabatnya di ponselnya.

"Yeoboseyo?" sapa seseorang dari seberang.

"Sehun-ah, aku sudah sampai, cepatlah keluar."

"Tunggu sebentar."

"Ne."

Minho memutuskan panggilannya dan menunggu Sehun di luar rumahnya. Ia mendengus kesal karena kebiasaan Sehun yang tak pernah hilang. Sampai beberapa lama ia menunggu, Sehun tak kunjung datang.

Ia putuskan untuk turun dari mobilnya dan masuk ke rumah keluarga besar Sehun. Beruntung, tak seperti biasanya, keadaan rumah sangat sepi. Dengan begitu, Minho tak perlu bersikap pura-pura ramah pada penghuni rumah.

Saat menaiki tangga, Minho melihat sosok Kris yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Hey!" sapa Kris ramah.

"Hey." jawab Minho. Ia melangkah masuk ke kamar Sehun yang letaknya tepat berada di depan kamar Kris.

Minho dan Kris memang saling mengenal karena sahabatnya, Sehun adalah saudara sepupu dari Kris. Meski berada di kelas yang sama, mereka tak terlalu dekat sebagai teman.

Minho mendengus kesal saat melihat Sehun yang sedang menyisir rambutnya dengan santainya di depan kaca. "Ya! Kau membuatku menunggu terlalu lama! Cepatlah!" ujar Minho kesal. Bukan hal baru bagi Minho untuk menghadapi sahabatnya yang satu ini saat ia lama berdandan.

"Ne. Ne. Kkaja. Taemin sudah menunggu." Sehun segera keluar dari kamarnya dan Minho membututinya dari belakang.

Saat mereka tiba di depan mobil Minho, Minho menyeringai dan menatap Sehun. "Kau yang menyetir, ne?"

"Ah kau kan tahu aku belum begitu lancar." tolak Sehun, meski sebenarnya ia sedang malas menyetir.

"Bohong." Minho buru-buru menangkis pernyataan Sehun. "Aku sedang mengantuk. Ini kuncinya."

Minho menaruh kunci mobilnya tepat didalam genggaman Sehun dan bergegas masuk ke mobil. Ia tak menghiraukan keluhan Sehun yang kini duduk di kursi pengemudi.

Karena bosan, Minho memilih untuk tidur. Kebetulan, perjalanan mereka cukup jauh dan mereka tidak akan melewati pemandangan yang menarik perhatiannya.

CIIITTT

Sehun menghentikan mobil Minho secara mendadak saat melihat seorang gadis kecil yang terkulai lemas di atas jalanan beraspal yang sangat sepi. Tak ada seorang pun disitu.

Bunyi mobil yang direm mendadak oleh Sehun membangunkan Minho. Minho menatap Sehun yang mulai panik. Detik kemudian Minho mengalihkan pandangannya ke depan dan menatap seorang anak kecil yang terbaring lemah dihadapannya.

"Ya! Apa yang kau lakukan???" bentak Minho.

"Ini bukan salahku. Anak kecil itu sudah tergeletak disitu sebelum aku menghentikan mobil ini." jawab Sehun panik.

Minho dengan cepat keluar dari mobilnya dan menghampiri gadis tersebut. Kakinya yang mungil kini berlumuran darah. Minho menatap Sehun yang berdiri dengan wajah khawatir namun tetap tak melakukan apapun dengan geram.

"Cepat ambil jaketku di jok belakang!" seru Minho. Sehun pun berlari ke mobil dan mengambil sebuah jaket.

"Dia gila?" gumam Sehun saat melihat jaket mahal yang kini berada di tangannya. Sehun jelas tahu bahwa jaket yang baru saja Minho dapatkan tersebut adalah jaket yang sangat mahal. Bahkan ia menganggap dirinya tak akan memiliki jaket semahal jaket tersebut.

Ia menghampiri Minho yang sedang melihat keadaan gadis tersebut, "Kau yakin akan pakai jaket ini?"

"Cepat berikan!" Minho dengan cepat merebut jaket miliknya dari tangan Sehun.

Dengan cekatan Minho membalut kaki gadis tersebut dengan jaketnya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Minho dengan cepat duduk di kursi pengemudi dan meminta Sehun untuk menjaga gadis tersebut di kursi belakang.

Dalam waktu setengah jam, mereka sudah sampai di Honjusang Hospital, rumah sakit milik keluarga Minho. Minho dan Sehun membawa gadis tersebut ke ruang UGD

Di perjalanan, Minho sempat melihat sosok Kris yang masuk kedalam lift. "Kris? Apa yang ia lakukan disini?" gumamnya pelan sehingga Sehun yang tak menyadari kehadiran saudara sepupunya di rumah sakit tersebut. Namun karena dalam keadaan darurat, Minho sama sekali tak menghiraukannya.

Setelah memastikan gadis tersebut masuk kedalam ruangan UGD dan mendapatkan pelayanan langsung dari seorang dokter, Minho mengajak Sehun untuk pergi ke taman dan duduk sebentar disana. Sehun menatap orang yang sedang duduk disebelahnya, "Acara kita batal?"

"Bodoh. Keadaan sedang seperti ini kau malah memikirkan diri sendiri." jawab Minho sambil menatap Sehun tajam. "Gadis kecil itu mengalami pendarahan di kakinya, sepertinya ia terserempet mobil atau motor. Aku tidak bisa memastikan. Kurasa gadis itu mengalami patah tulang di tulang betisnya." Minho menuturkan segala yang ada di pikirannya saat melihat keadaan gadis tersebut sambil mengerukna keningnya.

"Ya! Sejak kapan kau jadi sok dokter begini?" Sehun tertawa melihat sika Miho yang baginya terlalu serius.

"Eh... Lupakan saja. Aku hanya sok tau." tangkis Minho.

Hari berganti senja, matahari mulai tenggelam, dan membuat keadaan sekitar semakin gelap. Setelah meminta Sehun untuk menghubungin Taemin, Minho langsung menuju ruang rawat gadis tersebut. Setelah melakukan operasi kecil, Minho dan Sehun dipersilahkan masuk ke ruang rawatnya.

Minho menutup ruang rawat khusus anak-anak yang ia siapkan untuk gadis kecil tadi dengan perlahan, mencoba untuk tidak membangunkan gadis tersebut. Ia menghampirinya perlahan dan menatap wajah gadis itu.

Seorang dokter masuk dan menghampiri Minho, "Annyeonghaseyo." Dokter Jang membungkuk pada Minho.

"Annyeonghaseyo." jawab Minho sambil balas membungkuk. "Apa yang terjadi pada gadis ini, dok?"

"Sepertinya gadis ini dijatuhkan dari mobil atau motor. Ia mengalami fraktura sederhana atau patah tulang yang tidak melukai organ lainnya dan luka dibagian luar karena goresan aspal." Dokter tersebut memberi jeda. "Ia harus tinggal beberapa hari disini untuk menerima perawatan."

Minho mengangguk mengerti kemudian tersenyum, "Tolong berikan perawatan yang terbaik. Gamsahamnida, dokter."

"Adalah keharusan bagi saya, weisamchon. Saya permisi dulu, jika ada keperluan, anda bisa menghubungi saya." Dokter Jang pamit dan membungkuk pada Minho kemudian meninggalkan ruangan.

Sehun bangkit dari sofa dan menghampiri Minho. "Sepertinya keadaannya tidak buruk." ucap Sehun sambil menyentuh bahu Minho.

"Semoga saja begitu."

Suara pintu yang dibuka oleh Taemin mengalihkan pandangan Minho dan Sehun pada gadis yang kini masih berbaring lemah di atas kasur.

"Annyeong!" sapa Taemin dengan suara keras, sontak membuat gadis kecil tadi terbangun.

Ia membuka matanya, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan mendapati tiga orang namja yang berdiri di depan sebuah sofa sambil menatapnya. Gadis itu bergidik ngeri dan menutup matanya.

Minho menghampirinya dan tersenyum, "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Gadis itu tidak menjawab.

"Tidak perlu takut. Siapa namamu, adik kecil?" tanya Minho lagi sambil menyunggingkan senyuman manisnya.

Sehun dan Taemin membelalak. Bahkan selama 3 tahun persahabatan mereka, keduanya tak pernah melihat senyuman semanis yang Minho berikan pada gadis tersebut. Mereka berdua saling memberikan pandangan dan menghampiri Minho.

"Ah ne. Kau boleh memanggilku oppa. Minho oppa." Minho mengusap rambut gadis itu masih dengan senyum di wajahnya. Tiba-tiba saja setetes air mata turun dari mata gadis itu, membuat Minho bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, dongsaeng?" Minho memeluk gadis tersebut dengan erat.

Gadis itu tidak menjawab. Ia terus menangis. "Ada apa sebenarnya dengan gadis ini?" Taemin akhirnya angkat bicara. Sehun hanya dapat mengangkat bahu dan tangannya.

Minho membelai rambut gadis itu sampai akhirnya ia melepas pelukan Minho. Gadis itu tersenyum pada Minho kemudian tertawa. "Gamsahamnida."

"Ne. Siapa namamu?" tanya Minho lagi.

"Namaku Eunmi." sebuah senyuman terulas di bibir kecil nan merah milik Eunmi. Ia merasa betul-betul nyaman berada di samping namja yang baru saja ia temui.

"Nama yang cantik. Jangan menangis lagi, ne?" Minho menatap Eunmi kemudian menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Ne...." Eunmi berhenti sejenak dan memandang Minho.

"Minho oppa." jawab Minho, seakan mengetahui apa yang ada di pikiran Eunmi.

"Ne, Minho oppa."

"Dan ini, Sehun oppa." Minho menunjuk seorang namja dengan setelan jaket dan jeans yang berdiri di sebelah Taemin. "Yang disebelahnya, Taemin oppa." Minho mengalihkan jarinya ke Taemin.

"Ne, annyeong!" Taemin dan Sehun memberi salam bersamaan.

Eunmi tertawa senang kemudian memperhatikan setelan yang Sehun pakai, "Sehun oppa, bajumu... Kau memiliki selera fashion yang buruk?"

***

"Choi Minho?" seru seorang guru biologi, Goo ssaengnim yang baru saja duduk di kursinya setelah mencatat beberapa materi di papan tulis. Minho yang sedang berbicara dengan Taemin terpaksa berdiri.

"Ne, ssaengnim?"

"Bisa tolong jelaskan kandungan dari getah empedu? Ibu sengaja tidak menuliskannya. Hanya ingin mengetahui kau belajar atau tidak." pertanyaan tersebut sontak membuat Jiyeon mengalihkan pandangannya pada Minho. Ia mengernyitkan matanya dan melihat ekspresi Minho yang dia buat-buat sendiri.

Minho terlihat berpikir. Ia mencoba menahan dirinya untuk tidak menjawab dengan benar. Sementara Jiyeon mendengus kesal. Dasar tukang akting!

"Protein?" akhirnya Minho membuka mulut. Goo ssaengnim hanya dapat menghela napasnya. Setidaknya ia sudah mencoba untuk bertanya, meskipun ia tahu bahwa Minho tak akan menjawab dengan baik.

"Kurang tepat. Kris, bisa tolong bantu Minho?"

Kris bangkit dari bangkunya dan mulai menjelaskan, "Pertama, kandungan getah empedu terdiri dari pigmen billirubin yang berfungsi memberi warna kuning pada feses dan urin. Yang kedua, pigmen billiverdin, memberi warna hijau pada saluran plasma. Ketiga, kolesterol yang merupakan hasil metabolisme lemak yang harus dikeluarkan oleh tubuh. Terakhir, yang ke empat... garam-garam empedu..." Kris menghentikan kata-katanya dan berpikir sejenak, "Garam empedu merupakan asam empedu yang berasal dari kombinasi asam amino dan kolesterol."

Seisi kelas memberikan tepuk tangan untuk Kris, terkecuali seorang murid yang sedari tadi hanya memberikan pandangan datar kepadanya. Lama sekali menjawabnya, batinnya.

Goo ssaengnim mempersilahkan kedua namja beda kepribadian tersebut untuk duduk. Jiyeon melemparkan pandangan kepada Minho yang kini menatapnya dengan tatapan 'Apa masalahmu?'. Jiyeon hanya dapat membuang pandangannya pada guru yang kini menuliskan 5 soal post test di papan tulis.

Selama test berlangsung, Jiyeon terus memperhatikan Minho. Ia hanya menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Tak ada satupun yang ia kerjakan. Sebenarnya, Minho berniat untuk mengisi nomor 4 -nomor yang paling mudah- beberapa menit sebelum bel dan mengisi nomor lain secara asal-asalan dan singkat.

Semua murid mengumpulkan pekerjaan mereka tepat ketika bel istirahat berbunyi, kecuali Jiyeon dan Kris yang sudah mengumpulkan selembar kertas berisi jawaban mereka terlebih dahulu. Karena malas, Minho menitipkan lembar jawabannya pada Sehun untuk dikumpulkan.

"Dasar gila, soalnya sangat sulit. Kita kan baru saja masuk ke materi ini, tapi guru itu malah memberikan test yang sangat sulit." gerutu Sehun saat kembali duduk di sebelah Minho.

Minho hanya mendengus, "Hah... hanya satu nomor yang dapat kukerjakan." ujarnya berbohong. Jelas, baginya soal-soal tersebut tidaklah sulit.

"Tiga soal yang bisa kukerjakan. Lagipula, aku tidak yakin dengan jawabannya." Taemin duduk di belakang Minho dan masuk kedalam pembicaraan Minho dan Sehun.

"Ne, aku juga." Sehun setuju dan mengangguk. "Kalian tidak mau ke kantin?"

"Ah ne, aku lapar." Minho berjalan keluar kelas diikuti Taemin dan Sehun. Seperti biasa, puluhan pasang mata memperhatikan mereka. Tiga namja tampan nan kaya. Puluhan murid di sekolah tersebut mengagumi ketiganya, terlebih lagi, Choi Minho.

Baru saja ketiganya duduk di sisi pojok kantin, sebuah suara dari seorang yeoja berparas cantik terdengar. "Minho!" panggilnya dan duduk di kursi sebelah Minho yang kosong.

Minho tak menjawabnya. Hanya menatapnya dingin kemudian mulai memesan makanan.

Taemin berdecak lidah sambil memperhatikan perilaku Minho. Belasan...ah tidak, bahkan puluhan orang sudah yeoja itu tolak mentah-mentah hanya demi seorang Choi Minho. Lagi pula, siapa yang akan menolaknya? Cantik. Kaya. Menawan. Terkenal. Hanya namja dari planet lain yang tak menyukainya.

"Soojung-ah, kau mau pesan apa?" karena Minho tak menjawab Soojung, Sehun memutuskan untuk angkat bicara.

"Ah ne, gomawo Sehun-ah. Aku hanya ingin secangkir coklat panas." Cantik dan ramah. Dua kata yang begitu melekat di diri Soojung. Betul-betul membuat namja-namja di sekolah tersebut terpesona.

"Baiklah."

Selama menyantap makanan, Minho hanya diam sambil sesekali melihat ke luar jendela. Terkadang, Soojung mengajaknya bicara, namun Minho hanya menjawab dengan singkat, bahkan tak menjawabnya sama sekali. Taemin dan Sehun yang mengerti, akhirnya mengajak Soojung berbicara dan tertawa bersama. Soojung hanya dapat memeberikan tawa palsunya untuk menghargai usaha Taemin dan Sehun.

"Sampai jumpa, Soojung-ah!" Taemin memberi salam dan mengikuti langkah Minho dan Sehun yang sudah terlebih dahulu meninggalkan meja tersebut.

Lagi-lagi Soojung harus pura-pura tersenyum. Tentu saja diperlakukan dingin oleh Minho adalah hal yang menyakitkan baginya. Namun, ia motivasi untuk menjadikan Minho miliknya terus memberinya semangat. Hwaiting, Soojung-ah! serunya dalam hati.

"Bahkan 3 tahun bersahabat denganmu belum membuatku benar-benar mengerti tentang dirimu." ucap Sehun dalam perjalanan menuju kelas.

Taemin menyamakan langkahnya dengan Minho dan Sehun kemudian ikut angkat bicara, "Aku masih bisa mengerti kenapa kau menolak Naeum, tapi menolak seorang Jung Soojung bukanlah hal biasa."

"Tidak semua namja memiliki selera yang sama."

Tujuh kata. Tujuh kata yang selalu menjadi alat bagi Minho untuk menutup mulut sahabatnya. Setelah mengucapkan tujuh kata tersebut Sehun dan Taemin selalu menyerah dan tak dapat mengatakan apapun lagi.

Ketiga namja itu berpapasan dengan Jiyeon saat melewati pintu kelas. Minho sempat menangkap tatapan Jiyeon, namun detik berikutnya Jiyeon membuang pandangan dan berlalu keluar kelas. Ketiganya kembali ke tempat duduk masing-masing dan mengobrol.

Jiyeon melangkahkan kakinya cepat menuju perpustakaan mengingat Kris yang sudah berpesan untuk menyusulnya di perpustakaan saat selesai membantu Goo ssaengnim mengoreksi pekerjaan teman sekelasnya.

"Annyeong~" sapa Jiyeon kemudian tersenyum pada Kris yang sedang membaca sebuah buku biografi seorang musisi terkenal dunia, Bethoven. "Kau suka Bethoven?"

Kris mengangguk dan tersenyum manis pada Jiyeon, "Ne. Kau suka lagu klasik?"

"Hahaha ye. Tentu saja. Favoritku adalah Canon in D Mayor. Kau tahu? Karya Pachelbel."

Jiyeon mulai menyalakan komputer yang berada di hadapannya dan mulai menjelajahi internet. Ia menatap layar komputer dengan seksama, mencoba mencari informasi yang kini ia butuhkan.

"Ne, aku tahu. Kau suka Pachelbel?" jawab Kris setelah membaca satu paragraf pendek dari buku biografinya.

Jiyeon mengangguk, ia masih fokus memandangi layar komputer.

Kris akhirnya memilih untuk kembali berkonsentrasi dengan bukunya.

"Dapat!" seru Jiyeon tanpa suara saat menemukan artikel bertajuk genetika yang ia cari.

Menurut penelitian terakhir, kebanyakan anak angkat yang diadopsi sejak lahir akan mengalami kemiripan dengan orang tua angkatnya. Para ilmuwan belum meresmikan hal ini secara umum dan belum dapat memastikan apa penyebab dari fenomena tersebut.

Kemungkinan pertama!

***

"Sejak kapan Jiyeon menjadi guru les bilogimu?" Minho tahu, memberitahukan sahabatnya bahwa Jiyeon adalah teman guru lesnya bukanlah hal yang tepat. Sebuah pertanyaan muncul dari mulut Taemin.

"Sejak liburan. Baekho tak pernah jera." Minho menghela napasnya. "Bukankah semua orang tahu bahwa pelajaran tersebut bukan pelajaran kesukaanku. Kenapa mereka tetap memaksaku."

"Kukira kau memang harus mengikuti apa kata appamu." Sehun menyentuh pundak Minho. Mencoba menghilangkan kerut yang kini terlihat jelas di kening Minho.

"Maksudmu untuk menjadi dokter?" Sehun dan Taemin mengangguk. "Itu bukan keinginanku."

Sebuah mobil sedan mewah berwarna putih berhenti di hadapan mereka. Sosok namja yang baru saja menginjak kepala lima keluar dari mobil dan membungkuk pada Minho. "Weisamchon, mari kita pulang."

Minho mengangguk dan mengucapkan salam perpisahan pada Sehun dan Taemin yang akan pulang bersama dengan mobil Taemin.

Baekho mengeluarkan ponselnya dan segera mengetikan sebuah pesan singkat untuk Jiyeon karena tak mendapati sosok Jiyeon di dekatnya. Lima menit kemudian, Jiyeon datang dengan berlari setelah memberi pengarahan untuk juniornya di ekskul RCY (PMR).

"Mianhaeyo, ahjussi. Tadi aku masih memiliki beberapa keperluan." ucapnya dengan suara tersengal.

"Ah gwenchana. Ayo masuk ke mobil."

Akhirnya mereka sampai di rumah Minho. Keduanya turun bersamaan. Sambil berjalan ke ruang belajar Minho, Jiyeon terus memperhatikan sekitar. Dalam benaknya, ia harus menemukan minimal satu foto masa kecil Minho.

Nihil.

Tak ada satu pun foto masa kecil Minho yang terpajang. Rumah tersebut hanya memiliki satu foto keluarga besar yang letaknya di ruang keluarga dan foto seorang wanita berparas anggun dengan hanbok yang memancarkan kecantikannya. "Ahh, jeongmal. Yeppeo." gumam Jiyeon saat mengagumi kecantikan wajah wanita tersebut.

Sayangnya, Jiyeon tak dapat masuk ke ruang keluarga tersebut karena ia harus segera masuk ke ruang belajar. "Cepat, Jiyeon-ah!" seru Baekho dari dalam ruang belajar.

Setelah menyiapkan ruangan, Baekho kembali meninggalkan Minho dan Jiyeon di dalam ruangan. Jiyeon menghela napasnya dan mengeluarkan bukunya dari dalam tas.

"Weisamchon, kau mau membahas soal post test tadi pagi?" Jiyeon mengeluarkan selembar kertas yang ia dapatkan dari gurunya saat memeriksa jawaban post test teman satu kelasnya.

"Berikan soalnya, akan ku kerjakan."

Mendengar perkataan Minho, Jiyeon langsung mengambil pulpennya dan mulai menulis soal yang tadi pagi gurunya berikan. Sementara Jiyeon menulis, Minho berjalan menghampiri rak buku besar yang berada di belakang Jiyeon dan mengambil sebuah buku.

The Virus Vol. 2.

Jiyeon memandangi Minho yang tersenyum saat membaca buku tersebut. Orang aneh, ucapnya dalam hati.Sikap Minho semakin membuatnya bingung. Jelas, dari raut wajahnya Minho sangat menikmati membaca buku tersebut, tapi kenapa ketika ada orang lain, ia justru berpura-pura bodoh.

"Ada apa?" Minho menangkap pandangan mata Jiyeon dan berucap ketus.

"Anni." Jiyeon mengelak kemudian mendorong kertas berisi soal kepada Minho, "Sudah kutulis."

Minho segera mengambil kertas itu dan menatap Jiyeon. Jiyeon mengerti dan memberikan sebuah pulpen untuk Minho. Minho mulai mengerjakan dalam diam. Selama itu, Jiyeon terus memperhatikannya Minho yang mengerjakannya dengan lancar dan tanpa jeda.

Jiyeon betul-betul ingin mengetahui jawaban Minho, karena jelas ia tahu nilai yang ia berikan tadi pagi di lembar jawaban Minho bukanlah nilai yang pantas diberikan untuknya.

Sepuluh menit berlalu. Minho mendongakkan kepalanya dan menatap Jiyeon. Ia mendorong lembar jawabannya kemudian mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Selama Jiyeon memeriksa jawaban Minho, Minho memilih untuk menghubungi suster yang ia minta untuk menemani Eunmi selama di rumah sakit.

"Yeoboseyo?" suara seorang yeoja mulai terdengar di telinga Minho.

"Suster, bagaimana keadaan Eunmi?"

Eunmi. Siapa lagi dia? Yeojachingunya? Bukankah dia adalah namja berhati dingin? Segala hal tentang Minho kini membuat Jiyeon selalu penasaran.

"Tadi pagi saat saya ingin memberikan sarapan, Eunmi agasshi menolaknya. Ia terus diam, Weisamchon. Sampai akhirnya ia bertanya apakah Weisamchon akan datang atau tidak. Setelah saya mengatakan Weisamchon akan datang, barulah Eunmi mau makan dengan lahap." Tanpa Minho sadari, sebuah senyum terkembang di bibirnya.

Sejak pertama kali melihat Eunmi, Minho merasa betul-betul nyaman melihat. Sejujurnya ia menginginkan sosok seorang adik sejak dulu, namun apa boleh buat, appanya tak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang yeoja dan tidak mungkin memberikannya adik. Tapi, ia merasa bahwa Eunmi adalah utusan dari Tuhan untuk menjadi adiknya.

"Ye, aku akan datang pukul 5 nanti. Tolong katakan padanya. Gamsahamnida, suster." Minho menutup teleponnya dan berdiri dari kursinya. Ia kembali menghampiri rak buku besar dan mengambil buku berjudul 'The Virus Vol. 1'.

Minho menghampiri Jiyeon dan melihat angka 1 dan 0 yang tertulis berpasangan di sudut kanan atas lembar jawabannya. Ia memberikan buku yang ia ambil kepada Jiyeon. Jiyeon hanya dapat menerimanya dan mulai membacanya. Minho memberikan buku tersebut hanya untuk menutup mulut Jiyeon yang pasti akan bertanya apa yang harus ia lakukan selama di ruangan tersebut.

Minho kembali ke tempat duduknya dan mulai membaca The Virus Vol. 2. Hening. Keduanya sibuk dengan bacaan mereka. Terlebih lagi Minho. Ia betul-betul menyukai buku tersebut.

Dua jam berlalu. Keduanya masih sibuk dengan buku masing-masing. Terlebih lagi Jiyeon yang butuh konsentrasi banyak untuk memahami buku berbahasa Inggris tersebut. Dalam hatinya, ia sedikit kagum pada Minho yang menyukai buku seperti ini. Tak seperti namja lain yang lebih memilih untuk membaca komik atau buku yang tidak penting.

Minho bangkit dari kursinya, diikuti oleh Jiyeon. Ia tahu, waktunya memberikan pelajaran untuk Minho sudah hampir selesai. Mereka berdua berjalan bersama menuju rak dimana buku tersebut berasal. Dikarenakan, buku yang mereka baca harus diletakkan bersebelahan, Minho mengambil buku tersebut dari tangan Jiyeon dan menaruhnya. Selanjutnya, ia menaruh buku yang tadi ia baca.

Sebelum buku tersebut betul-betul masuk kedalam rak, tanpa Minho sadari sebuah amplop melayang bebas menuju lantai. Jiyeon yang menyadarinya buru-buru mengambil amplop tersebut dan memasukkannya kedalam saku sebelum Minho menyadarinya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Minho dingin.

"Anni." Jiyeon mendongakkan kepalanya dan berjalan ke tempat ia menaruh tasnya.

 

PART 4

Author: Tia31

Cast: SHINee’s Choi Minho, T-Ara’s Park Jiyeon, EXO-M’s Kris, SHINee’s Taemin, EXO-K’s Sehun

Genre: Romance, Family, (Sedikit) Sci-Fi

Rating: PG-13

Suara pintu yang dibuka oleh Minho mengalihkan perhatian Eunmi dari camilan biskuit yang baru saja akan mendarat di mulutnya. Eunmi buru-buru berusaha menggerakkan kakinya untuk segera menuju ke Minho, namun apa daya, kakinya tak mengizinkannya.

"Oppa!" serunya dengan nada yang begitu ceria.

"Sudah makan?" Minho dengan cepat melesat ke tempat tidur Eunmi dan mencubit hidungnya pelan.Ia tersenyum senang saat mengetahui Eunmi masih baik-baik saja.

Eunmi mengangguk dan tersenyum. "Oppa sudah makan?" Belum sempat Minho menjawab, Eunmi sudah mengulurkan sebungkus biskuit yang baru saja akan disantapnya.

Eunmi memberikannya pada Minho sambil tersenyum. Minho membalas senyumannya dan mengacak rambut Eunmi yang mulai memasang wajah cemberut karena ia baru saja menyisir rambutnya. Karena gemas, Minho mulai menjahili Eunmi dengan menggelitiki bagian perut Eunmi.Dalam beberapa menit keduanya sudah tertawa bersama.

"Oppa, hentikan!" seru Eunmi karena Minho tak kunjung melepaskan tangannya. "Oppa, jebal!"

Minho akhirnya tertawa melihat Eunmi yang kelelahan namun masih bisa tertawa.Minho mengambil kursi terdekat dan duduk di dekat tempat tidur Eunmi. Kini ia menatap Eunmi dalam, membuat Eunmi sedikit bingung.

Sejak kemarin, Minho terus bertanya-tanya dimana keluarga Eunmi, siapa orang tuanya, dan bagaimana latar belakanngnya. Namun sampai saat ini, ia belum memiliki keberanian untuk menanyakan hal tersebut. Ia tidak ingin mengambil langkah yang salah.

"Oppa, ada apa?"

"Hmmm... Anni." Minho tersenyum dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.Ia mengulurkan sepasang jepit rambut berwarna biru muda dengan hiasan kupu-kupu diatasnya yang disambut dengan senyum sumringah dari Eunmi.

Sejak kemarin, Minho tahu bahwa gadis yang baru saja menginjak 7 tahun dihadapannya ini sangat tertarik dengan fashion. Dengan baik ia dapat mengomentari pakaian Minho, Sehun, dan Taemin. Namun menurut Eunmi, penampilan terburuk jatuh pada Sehun. Pakaian yang ia pakai kemarin terlalu biasa bagi Eunmi, seperti orang tak berselera fashion katanya.

Eunmi mengerutkan dahinya, "Bagaimana oppa tahu bahwa aku suka warna biru?"

"Oppa hanya menebak. Jadi kau benar-benar suka warna biru?"

Eunmi mengangguk, "Bagaimana dengan oppa?"

"Oppa juga, makanya oppa pilih warna biru. Jika Eunmi tidak suka, biar oppa saja yang pakai."

Eunmi mendengus. "Jadi oppa suka pakai jepit rambut? Ini kan untuk yeoja."

Minho terkekeh. "Biar saja, agar Eunmi iri dan memintanya lagi pada oppa. Oppa kan membelikannya untuk Eunmi."

Eunmi memeluk Minho tiba-tiba. Ia telah mencoba mencari kehangatan yang sudah lama tak dirasakannya dan kini ia menemukan seseorang yang memberikannya dengan tulus. Eunmi tahu, Minho orang yang tulus.

Tanpa mereka sadari, ada sesosok namja yang memperhatikan mereka sedari tadi.Yeon Gyeom berdiri diambang pintu tanpa bersuara sambil menyaksikan keduanya berbicara.

"Apakah appa mengganggu?"Suara Yeon Gyeom memecahkan suasana diantara mereka berdua.

"Anni." jawab Minho singkat.

Dokter dengan setelan jas putih dan celana hitam itu berjalan mendekat dan tersenyum pada Eunmi yang menatapnya bingung. Suasana sedikit canggung sebelum Minho memperkenalkan appanya pada Eunmi, "Perkenalkan ini, Yeon Gyeom ahjussi."

Eunmi akhirnya tersenyum setelah mendengar penjelasan Minho, begitu juga dengan Yeon Gyeom. Untuk beberapa saat mereka berbincang bersama sampai dering ponsel Yeon Gyeom terdengar. Ia harus segera kembali ke ruangannya dan menyelesaikan beberapa urusan.

Setelah pintu tertutup, Minho kembali tersenyum pada dan kembali mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya.

"Eunmi-ya..."

Eunmi yang baru saja akan memasang jepit rambut pemberian Minho di rambutnya, menghentikan aktifitasnya.

"Ahh sebentar." Minho mulai melayangkan tangannya ke rambut Eunmi dan membantunya memasang jepit rambutnya. "Selesai. Neomu yeppeo."

"Gomawo, oppa." Eunmi tersenyum senang untuk kesekian kalinya karena Minho. "Tadi oppa mau bicara apa?"

Minho berdehem, "Hmm... Boleh oppa bertanya satu hal?"

Eunmi mengangguk. Sebenarnya ia tahu apa yang ingin Minho pertanyakan. Tapi ia tidak akan mengelak untuk menjawab. Dua hari bersama Minho sudah cukup untuk memberikan kepercayaan untuk orang yang kini ia panggil dengan sebutan "oppa" dengan akrab.

"Dimana orang tuamu? Apa yang terjadi padamu?"

"Bukankah oppa hanya ingin bertanya satu hal?" Minho menghela nafas lega dengan pelan. Setidaknya Eunmi tak menangis atau melakukan hal yang tidak baik lainnya, namun ia menyadari bahwa gadis yang berada di hadapannya kini adalah gadis yang sangat cerdas.

Sebelum menjawab, Minho berusaha tertawa pelan. "Baiklah, kalau begitu, boleh oppa bertanya dua hal itu?"

"Ah gwenchana." Eunmi menghentikan kata-katanya kemudian melanjutkan, "Appa tidak menginginkanku lagi. Kemarin, ia membawaku keluar rumah dan menjatuhkanku dijalan." Eunmi berusaha menahan tangisannya.

Minho mulai mengerti dan menganggukkan kepalanya. "Bagaimana dengan eommamu?"

"Eomma sudah meninggal."

Detik berikutnya Minho sudah menarik Eunmi kedalam pelukannya.Eunmi tidak melakukan apapun selain memejamkan matanya. Tubuh kecil Eunmi nan hangat membuat Minho merasa nyaman.

"Eunmi mau kembali ke appa?"

Eunmi menggeleng dengan cepat. Mengingat wajah namja yang sudah membuatnya tersiksa saja tak sanggup ia lakukan.

"Baiklah." Minho tersenyum kemudian mengecup puncak kepala Eunmi.

***

Sudah satu jam Jiyeon berkutat dengan pikirannya sambil memegang selembar amplop kecil berwarna biru muda yang tidak diberi perekat dan dapat dengan mudah dibuka. Ia betul-betul penasaran dengan isi amplop tersebut, namun membuka amplop tersebut dan membaca isinya bukanlah hal yang benar menurutnya.

"Bagaimana ini." Ia mendesah.

Hari sudah semakin larut dan hujan baru saja reda, namun Jiyeon masih duduk di teras rumahnya sambil terus memagang amplop tersebut.Buka...atau tidak?Jiyeon kembali berperang dengan hati dan pikirannya.

Suara gonggongan anjing membuat Jiyeon tersentak. Ia panik dan buru-buru berlari masuk ke rumah namun belum sempat ia masuk ke dalam, ia terpeleset karena genangan air yang menetes dari atap rumahnya yang bocor.

Jiyeon meringis. Ia merasakan sedikit perih di kakinya yang terluka karena terkena kusen pintu dan mencoba melupakan rasa sakit tersebut.

Kini matanya tertuju pada amplop tadi yang telah mengeluarkan isinya. Sebuah kertas bertuliskan "FAILED" berukuran besar kini nampak jelas di atas lantai.

Jiyeon berusaha bangun dan mengambil kertas tersebut.Ternyata masih ada amplop kencil lagi yang tersembunyi di balik kertas tersebut.Ini bagaikan teka-teki, batinnya. Ia merasa dirinya kini sedang bermain sebagai seorang detektif yang sedang memecahkan masalah. Bukan hanya masalah, namun juga rahasia yang ia yakini adalah rahasia besar seorang Choi Minho, ah bukan, bahkan mungkin keluarganya.

Bukannya takut karena telah masuk kedalam urusan orang lain, Jiyeon justru semakin ingin terjun kedalamnya. Ia kembali melirik kertas bertuliskan kata "gagal" yang kini ia pegang. Tak lama, ia menyadari 8 digit angka yang membentuk sebuah tanggal tertulis dengan rapi dibagian kanan bawah.

23.02.19**

Empat digit terakhir menunjukkan tahun kelahirannya yang juga berarti tahun kelahiran Minho, tepatnya 17 tahun yang lalu.Ia kembali menganalisis tulisan yang mengukir huruf F, A, I, L, E, dan D tersebut.Rapi dan teratur.Dengan begitu Jiyeon dapat menyimpulkan bahwa tulisan tersebut ditulis oleh seorang wanita.

Kini pandangannya teralih kepada sebuah amplop yang berukuran lebih kecil dari amplop sebelumnya dan berwarna putih. Dengan meraba kedua permukaannya, Jiyeon tahu isi amplop itu tak akan lebih dari selembar kertas.

Dengan memejamkan matanya, iamulai membuka amplop tersebut.

"Jiyeon-ah~" suara Yoondae mengalihkan perhatiannya. Ia membuka mata dan segera memasukkan amplop-amplop dan kertas tadi yang belum sempat ia buka kedalam tas. Dengan cepat, Jiyeon sudah berada di kamarnya dan bertemu dengan eommanya.

"Ada apa, eomma?"

"Tadi eomma mendengar suara pintu masuk yang terbuka, eomma kira itu kau yang masuk. Tapi beberapa saat eomma menunggu, tapi tak ada seorang pun yang masuk ke kamar."

"Aku sudah pulang."

***

Seluruh siswa sudah berbaris di lapangan dengan setelah mengganti pakaian mereka dengan kaus dan celana training sekolah. Dalam diam mereka mendengarkan instruksi sang guru olahraga yang saat ini sedang menerangkan tentang materi baru yang akan diajarkan.

Seoerti biasa, Jiyeon sudah ketakutan sendiri di barisannya.Ia memang bukan murid pandai di bidang ini, bahkan Kim ssaengnim menyesali hal itu. Kalu bukan karena tes tertulis nan berbobot yang diberikan Kim ssaengnim, Jiyeon tak akan mendapat angka 8,5 di rapornya kemarin.

Setelah mendengar instruksi Kim ssaengnim untuk mengitari lapangan sekolah sebanyak 7x, semua murid bubar teratur dan mulai berlari, tak terkecuali Park Jiyeon. Untuk sekedar berlari, Jiyeon masih dapat melakukannya meski nafasnya tak akan berhenti tersengal-sengal untuk beberapa menit.

Baru saja Jiyeon mengitari lapangan untuk yang 6x, seseorang berseru, "Dia sudah 10 kali! Hebat!"

Detik berikutnya Jiyeon sudah mendengar beberapa suara, "Wow!", "Hebat!", atau "Seperti biasa. Namanya juga Choi Minho."

Ia menghela nafasnya dan terus berlari meski nafasnya sudah memburu sesaat setelah melihat Choi Minho yang sudah kembali ke tempat di mana ia memulai startnya. 10 kali. Sebegitu hebatnya kah dia? Memiliki segalanya, harta, kecerdasan, bahkan...harus kuakui dia tampan, Jiyeon terus membatin selama putaran terakhir.

Baru saja Jiyeon kembali ke barisan sebagai orang terakhir, teman-temannya kini kembali bubar untuk memulai materi baru mereka yaitu sepak bola.Beberapa pemimpin barisan sudah mengambil bola dan mulai menendang. Sampai setengah jam Kim ssaengnim mempersilahkan mereka untuk latihan sendiri-sendiri tanpa instruksi dan pengawasannya.

Berhubung pemimpin barisan kelompok Jiyeon adalah Kris, Kris mencoba untuk mengutamakan Jiyeon. Ia menendang bola ke arah Jiyeon yang sama sekali tak menyadarinya kemudian tergelincir karena bola tersebut. Tak dapat Jiyeon elak, akhirnya ia jatuh tersungkur pelan ke rumput.

Kris buru-buru menghampirinya, "Jiyeon-ah! Kau baik-baik saja?" seru Kris panik.

Tentu saja, ia tak terlalu baik. Namun, ia masih memiliki cukup tenanga untuk bangun sendiri tanpa bantuan Kris.

"Ah gwenchana. Gomawo." jawab Jiyeon sambil tersenyum.

Saat menemukan bola yang membuatnya jatuh tadi, Jiyeon dengan cepat melangkah dan mencoba untuk meraihnya namun sedetik sebelum tangannya dapat menempel ke bola, hantaman sebuah bola ke hidungnya yang meluncur dari jauh membuatnya kembali tersungkur.

Kris, sebagai orang yang posisinya paling dekat dengannya buru-buru menghampiri Jiyeon.Ia terbaring lemah dengan keadaan darah mengalir keluar dari hidungnya.Kris yang panik dengan cepat menggendongnya dengan posisi terlentang.

"Bodoh! Kenapa kau justru menggendongnya seperti itu?" suara penendang bola tadi membuat Kris bergidik.

Minho dengan cepat meraih Jiyeon dan membuatnya berdiri.Ia memapah tubuh Jiyeon dan menaruh tangan Jiyeon di pundaknya.Minho memberikan tatapan tajam pada beberap orang yang menghalangi jalannya menuju UKS.

Sebagai orang yang melambungkan bola tersebut dan menjadi tersangka atas kecerobohannya sendiri yang tak dapat mengontrol bola dengan baik, tentu membuatnya merasa bersalah.Jelas yang Minho lakukan saat ini, murni dikarenakan rasa bersalahnya.

Kris hanya dapat terpaku menyaksikan kejadian yang baru saja ia saksikan. Baginya, yang seharusnya memapah Jiyeon saat ini adalah dirinya, bukan namja yang bertampang angkuh seperti Minho yang seharusnya melakukannya.Ia mengutuk dirinya sendiri karena tak dapat berbuat apa-apa.

Setelah masuk ke ruang UKS, Minho buru-buru mengunci ruangan tersebut karena tak ingin ada orang yang melihatnya membantu Jiyeon. Ia sengaja tidak memperbolehkan Jiyeon untuk berbaring karena takut darah dari hidung Jiyeon akan mengalir menuju kerongkongan dan masuk ke dalam lambung yang dapat menimbulkan rasa mual bahkan sewaktu-waktu Jiyeon bisa saja muntah. Oleh karena itu, ia tak mengizinkan Kris untuk menggendongnya dengan posisi telentang.

Masih dengan memapah Jiyeon, Minho mengambil sekotak tisu yang terletak di dekat tempat tidur besi ruang UKS sekolahnya. Setelah mendudukkan Jiyeon sedikit condong ke depan di tempat tidur, ia langsung menyumbat hidung Jiyeon dengan tisu. Minho bisa melihat Jiyeon menatapnya lemah tanpa berkata apapun.

"Mianhae." ucap Minho pelan namun Jiyeon tak dapat menjawabnya.

Jiyeon sedikit tersentak. Baru kali ini ia mendengar permohonan maaf dari seorang Choi Minho. Terlebih lagi ia mengucapkannya dengan bahasa non formal.

Minho menarik selembar tisu yang sudah ia gulung dan menyumbat hidung Jiyeon dari hidungnya dengan perlahan. Betul-betul lembut. Dapat Jiyeon pastikan, Minho jelas tahu tidak ada yang boleh tercabut dari dalam hidung jika seseorang sedang mengalami pendarahan pada hidung.

"Sebentar." Minho bangkit dan membuka lemari es kecil yang terdapat di sudut ruangan. Jiyeon dapat menebak, dalam hitungan beberapa detik Minho pasti akan mengeluarkan beberapa bongkah es untuk mengompres hidungnya.

Tebakan Jiyeon tidak meleset, kini Minho mulai menjepit cuping hidung Jiyeon dengan tangan kanannya dan kanan kirinya mengompres tulang hidung Jiyeon dengan es yang tadi ia ambil. Lima menit. Minho dengan sabar menempelkan kedua tangannya di hidung Jiyeon.

Bahkan dia lebih pantas menjadi ketua eksul daripada aku, Jiyeon membatin.

Akhirnya Minho melebaskan jepitannya pada hidung Jiyeon dan menghentikan usahanya untuk memperlambat aliran darah dari hidung Jiyeon.Berhasil, kini tak setitik darah pun menetes.

"Lebih baik kau istirahat. Kim ssaengnim akan kuberitahu." Minho menepuk sebuah bantal yang sudah siap jika Jiyeon berniat untuk tidur. Karena mulut Jiyeon masih terkunci dengan rapat, ia hanya dapat mengangguk untuk menjawab Minho kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur dan memposisikan kepalanya di atas bantal tadi.

Setelah memastikan Jiyeon menutup matanya, Minho langsung bergegas membuka pintu untuk keluar. Tanpa sengaja ia mendapati seorang namja bertubuh lebih tinggi darinya berdiri di depan pintu dengan tatapan kaget.

"Jiyeon baik-baik saja?" Dari nadanya, ia dapat memastikan bahwa Kris sangat cemas dengan keadaan Jiyeon.

"Ne." Minho menjawab dan menutup pintu dengan perlahan sebelum melanjutkan, "Ia sedang istirahat jangan diganggu."

***

Sudah lebih dari dua jam Minho berada di ruang belajarnya bersama Jiyeon. Selama dua jam tanpa puluhan kata terucap. Yang Minho lakukan hanya meneruskan membaca bukunya yang berjudul The Virus Vol. 2 sedangkan Jiyeon kembali dipinjami oleh Minho buku yang kemarin ia baca.

Setelah melihat ke arah jam tangannya, Minho langsung berdiri dan menatap Jiyeon yang kini berada di hadapannya, duduk dengan tenang sambil membaca buku. Menyadari tatapan Minho, Jiyeon buru-buru menutup bukunya, ia tahu setelah ini Minho pasti akan segera pergi dari ruangan tersebut.

"Waktunya habis, aku pergi dulu." Minho bergegas dari tempat duduknya, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Jiyeon.

"Chakkaman." Minho memabalikkan badannya dan memberikan tatapan 'ada apa?' pada Jiyeon. "Aku belum mengucapkan terima kasih." Jiyeon menghentikan kata-katanya sebelum meneruskan, "Jeongmal gamsahamnida." Jiyeon membungkuk dengan canggung di hadapan Minho.

Minho hanya sedikit menarik sudut bibirnya, "Ne." jawabnya dan beralih melanjutkan langkahnya kemudian hilang dibalik pintu.

Akhirnya Jiyeon memutuskan untuk mengambil tasnya dan memasukkan sebuah pulpen yang tadi belum sempat ia masukkan kedalam tas sehingga ia harus menaruhnya di dalam sakunya. Tanpa sengaja ia melihat kertas bertuliskan "FAILED" serta amplop berukuran sedikit lebih besar berikut yang kecilnya. Ia mengeluarkan amplop yang kecil dan berniat membukanya sebelum sosok Baekho muncul di hadapannya.

"Apa sudah selesai?" tanyanya dan menarik kursi untuk duduk di hadapan Jiyeon.

Jiyeon mengangguk, "Ne, ahjussi."

"Bagaimana perkembangannya?"

"Perkembangan?" Jiyeon terdiam. Jika tidak mengingat peringatan Minho sejak awal, ia akan mengatakan, "Bahkan dia lebih baik dariku. Dia pasti bisa masuk universitas manapun yang ia inginkan. Dia brilian, ahjussi!" Namun jelas, Jiyeon harus mengurung niatnya jika ia tidak ingin mendapat masalah dengan seorang Choi Minho. "Hmm... Sepertinya ada perubahan..." jawabnya ragu.

Baekho sedikit menarik kursinya antusias, "Benarkah? Apakah weisamchon bisa masuk fakultas kedokteran?" tanyanya lagi.Kini Jiyeon mengutuk dirinya sendiri karena telah memberi harapan pada Baekho.

"Ah, ne... Kurasa bisa. Jika weisamchon mau berusaha lebih keras lagi." Jiyeon menyunggingkan senyumnya hingga deretan giginya dapat terlihat jelas oleh Baekho.

Lagi-lagi Jiyeon mengutuk dirinya. Pernyataannya barusan kini menerornya untuk membujuk Minho agar mau mengakui kejeniusannya, yang ia tahu pasti bukanlah hal mudah. Pertama-tama, hal yang harus ia lakukan adalah mencari tahu alasannya. Sedetik kemudian, ia menyadari bahwa mencari tahu alasannya bahkan lebih sulit. Matilah aku, rutuknya dalam hati.

"Ahjussi, aku harus segera pulang." Jiyeon bangkit dan membungkuk kepada Baekho.

"Tunggu sebentar." Baekho berusaha menahannya. "Bisa tolong ikuti aku?"

Sebelum mengikuti Baekho, Jiyeon mengangguk.Baekho memimpin perjalanan. Ia membawa Jiyeon ke taman belakang rumah keluarga Choi. Baru saja Baekho membuka pintu kaca menuju taman tersebut, suara gemericik air mancur yang terletak di tengah taman menyambut. Jalan setapak dari kumpulan batu-batu kecil mengubungkan antara kolam kecil dan sebuang gazebo di masing-masing sudut taman.Belum selesai Jiyeon memperhatikan seluruh taman tersebut, ia mendapati bahwa taman tersebut berada di tengah rumah, bukan di belakang rumah. Tidak, sekali lagi Jiyeon memperhatikan, pintu yang ia lihat bukanlah bagian rumah melainkan ruangan yang dibuat tersendiri. Dapat ia perkirakan, ruangan tersebut berukuran panjang 8 meter dan lebar 8 meter, seperti lebar taman.

Apa lagi yang kurang?lagi-lagi Jiyeon membatin. Namun sesaat kemudian ia mendengar suara Baekho yang memanggilnya sambil berdiri dekat pintu masuk ruangan tersebut. Ia segera berlari dan menghampiri Baekho.

Pintu tersebut dibuka oleh Baekho secara perlahan.Detik kemudian, Jiyeon sudah dapat melihat seisi ruangan, menjawab rasa penasarannya.

Pertama, perhatiannya tertuju pada bagian sebelah kiri ruangan tersebut.Sebuah lemari terlihat menempel di dinding.Dari kacanya, Jiyeon dapat melihat beberapa buah buku kedokteran untuk anak-anak yang memenuhi lemari tersebut.Sebuah bantal terlihat rapi di atas sebuah tempat tidur rumah sakit.Ia juga dapat melihat sebuah meja dokter dan sebuah stetoskop di atasnya lengkap dengan kursi berodanya.Namun semua yang Jiyeon lihat, tersusun rapi dalam bentuk mainan.Lebih tepatnya, semuanya adalah mainan "dokter-dokteran".

"Sajangnim sampai-sampai memesan semua ini ke London hanya untuk weisamchon." ucap Baekho yang membuat Jiyeon mengalihkan pandangan kepadanya.

Jiyeon hanya dapat mengangguk. Kemudian pandangannya kembali teralih ke sisi lain ruangan. Tak jauh berbeda dengan sisi satunya, sebuah tempat tidur rumah sakit, lemari buku-buku dan peralatan dokter sungguhan yang terbuat dari kayu, meja dan stetoskpop serta kursi berodanya dan beberapa peralatan dokter lainnya.Kini Jiyeon hanya dapat membuka mulutnya membentuk huruf "O" lebar-lebar.

"Setelah berharap semua ini menambah semangat weisamchon, sajangnim tiba-tiba saja dikecewakan oleh weisamchon."

Jiyeon kini menatap Baekho, menanti apa yang akan terucap selanjutnya dari mulut Baekho.

"Dulu, weisamchon sangat senang main di ruangan ini. Setiap hari, ia selalu mengajak pengasuhnya untuk pergi kesini. Setelah beberapa hari menjadikan ruangan ini kamar keduanya, ia meminta kami, orang-orang di rumah untuk memanggilnya dokter Minho. Saat itu kami tertawa mendengarnya." tutur Baekho kemudian tertawa.Ia kembali teringat masa itu.

"Benarkah?" Jiyeon berusaha pura-pura tak percaya.

"Ne." Baekho mengangguk dan melanjutkan, "Sejak saat itu, sajangnim semakin giat membelikannya buku-buku yang berhubungan dengan kedokteran. Kau bisa lihat di lemari biru itu, banyak buku kedokteran untuk anak kecil yang sajangnim belikan.Tentu saja, saat itu weisamchon sangat senang membacanya. Sebagai orang tua yang meninginginkan anaknya meneruskan profesinya dan istrinya, weisamchon sangat senang."

"Minho pasti anak yang sangat berbakat, ia hanya kurang belajar. Mungkin..." jawab Jiyeon.

"Menurutku juga begitu. Terlebih lagi, saat itu, sajangnim sedang sakit dan tiba-tiba weisamchon datang.Ia melihat sajangnim yang sedang menggigil karena demam tinggi.Weisamchon kecil yang masih berumur empat tahun buru-buru mengambil thermometer dan mengenakannya dengan baik ke appanya. Setelah itu, ia mengambil anti-fever dan menempelkannya di kening sajangnim."

More than excellent!

"Empat tahun? Benarkah? Hebat sekali!"

"Aksi weisamchon membuat sajangnim yakin bahwa putra satu-satunya mewarisi bakatnya dan istrinya. Bahkan nilai-nilainya semenjak duduk di bangku sekolah dasar selalu melewati kata "memuaskan"" Baekho menghentikan kata-katanya. "Namun, sejak menjadi siswa kelas dua SMP, nilai weisamchon terus menurun hingga sekarang. Tadinya ia membuat ruangan ini untuk weisamchon, tapi sejak SMP weisamchon tidak pernah mau masuk ke ruangan ini."

Jiyeon mengangguk pelan.Ia dapat mengambil kesimpulan bahwa terjadi sesuatu pada Minho saat itu. Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti.

"Bukankah sekitar umur itu anak-anak sedang mengalami pertumbuhan sehingga mereka lebih memilih untuk bermain. Mungkin, weisamchon lebih senang bermain."

"Mungkin saja, tapi sajangnim tetap yakin, bahwa bakatnya memang betul-betul turun ke anaknya."

"Aku juga begitu. Ini hanyalah masalah weisamchon yang sedang tidak ingin belajar."

***

Suara ting membuyarkan lamunan Minho. Setelah melihat pintu lift terbuka, ia segera masuk dan menekan tombol untuk menuju lantai 6. Pintu lift itu baru saja akan tertutup sesaat sebelum seseorang menekan tombol dan membukanya kembali.

"Minho?" suara Kris memberi kepastian siapa sosok yang berada di hadapannya, di dalam lift, saat ini. Kris menekan tombol 4 dan kemudian menghampiri Minho yang sedang bersender di dinding lift.

"Eh... Kris?" sebuah sapaan, bukan sapaan yang seharusnya.

"Bertemu dengan appamu?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Keperluan lain. Bagaimana denganmu?"Minho bertanya balik agar Kris tidak bertanya lebih lanjut.

"Mengunjungi teman lamaku. Dia dirawat disini."

Minho hanya mengangguk dan melihat Kris yang mulai berjalan ke pintu lift.

"Aku duluan. Sampai jumpa." katanya dan keluar lift.

Baru saja Minho sampai di depan pintu lift, pintu lift terbuka. Ia pun melangkah keluar dan berjalan menuju ruangan dimana Eunmi dirawat.Ia membuka pintu dan mendapati Eunmi yang sedang tertidur dengan lelap.

Seorang dokter tiba-tiba muncul, "Annyeonghaseyo."

"Annyeonghaseyo."

Dokter Lee dan Minho saling membungkuk. Dokter Lee memberikan amplop coklat kepada Minho sambil berkata, "Ini hasil rontgent Eunmi tadi pagi."

"Ah, gamsahamnida. Bagaimana keadaannya?"

"Sudah jauh lebih baik. Eunmi sudah boleh pulang besok." jawab Dokter Lee sambil tersenyum.

"Dengan kursi roda?"

"Tentu saja, tapi Eunmi bisa menggunakan tongkat jika ia mau."

Minho melihat pintu kamar rawat Eunmi tertutup kemudian menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tak ada yang ia lakukan selain memikirkan hal-hal yang akhir-akhir ini meracuni pikirannya hingga ia terlelap.

Sentuhan hangat Eunmi membangunkan Minho dari alam mimpinya.Ia membuka mata dan mendapati Eunmi senang menggenggam tangannya sambil duduk di sofa, di sebelahnya dan tersenyum.

"Eunmi, bagaimana bisa kau turun?" tanya Minho bingung.

Eunmi yang menatap Minho kini memutar sedikit kepalanya dan menaikkannya sedikit, memberi tanda pada Minho untuk memandang ke arah yang sama. "Hello~" suara Sehun dan Taemin mengundang senyuman di bibir Minho.

"Aku yang menggendongnya." Sehun menjawab pertanyaan Minho.

"Ia yang meminta." tambah Taemin.

"Ne, ne, arasseo. Kalian tidak perlu terlihat takut." jawab Minho kemudian berdiri dan sedikit memberi tinjuan kepada kedua sahabatnya. "Ada apa kemari?"

"Ya~ Kau kira, kau saja yang boleh menjenguk Eunmi?" protes Taemin.Ia menghampiri Eunmi dan menggendongnya.

Sehun berusaha meraih Eunmi dari Taemin, namun Taemin tak mengizinkannya. "Aku ingin minta kritik darinya." Sehun melanjutkan dan tertawa sambil melihat Eunmi yang memanyunkan bibirnya.

"Hmm... Oppa terlihat lebih baik hari ini dengan rompi itu." Eunmi berkomentar setelah memperhatikan Sehun dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Eunmi sudah seperti penasihat fashionmu saja." celoteh Minho dan meraih Eunmi kemudian menggendongnya.

Sekali lagi Eunmi memanyunkan bibirnya, "Ah, oppa kira aku boneka, main oper saja."

Ketiganya tertawa bersamaan.Taemin dan Sehun kini mencubit pipi kanan dan kiri Eunmi, sedangkan Minho mencubit hidung kecil dan mancung Eunmi.Aksi ketiganya membuat Eunmi semakin cemberut.

"Kalau begitu aku tidak akan menghabiskan makan malam hari ini." Eunmi mengerucutkan bibirnya dan melipat tangannya di dada.

"Kalau begitu, tidak akan oppa turunkan."

"Oppa!"

Seorang suster muncul sambil membawa gerobak makan untuk Eunmi. "Makan malam, Eunmi." serunya dan tersenyum manis pada Eunmi.

Eunmi menggeleng saat melihat Minho menatapnya.Sehun mengambil inisiatif dengan mengambil sesendok nasi dan sayur untuk Eunmi. "Ayo buka mulutnya~"

Eunmi tetap menggeleng, "Shireo!"

"Baiklah, oppa, Sehun oppa, dan Minho oppa minta maaf, ne?" Taemin mendekat dan tersenyum pada Eunmi. "Kau harus mau memaafkan oppa, ok?"

"Begitu dong." Eunmi tertawa dan membuka mulutnya sehingga suapan Sehun bisa masuk ke mulutnya.

"Enak?" pertanyaan Sehun dijawab oleh anggukan serta senyuman dari Eunmi.

Minho menurunkan Eunmi dan memintanya untuk duduk di pangkuannya.Ketiganya menyuapi Eunmi secara bergantian sambil berbincang-bincang hangat.Setelah Eunmi menghabiskan makanannya, Minho meminta suster jaganya untuk datang.

"Oppa pergi dulu, ne?" Minho kembali mencubit hidung Eunmi, namun kali ini Eunmi tersenyum. "Besok akan oppa jemput. Kau harus menurut dengan suster, OK?"

Eunmi mengangguk kemudian mendapati rambutnya brantakan karena di acak-acak oleh Sehun dan Taemin."OPPAAA!" geramnya, kemudian tertawa.

"Kami pergi dulu. See you later, little princess!" ucap Sehun dan berjalan keluar bersama Minho.

Baru saja mereka menghampiri lift, pintu lift tersebut langsung terbuka. Ketiganya masuk dan menekan tombol lantai dasar.

"Ahjussi?" sapa Minho pada seseorang yang sedang menunduk seraya melipat tangannya di dada di sudut ruangan.Ia mendongak dan mendapati Minho sedang menatapnya, "Ahjussi praktek disini?" tanyanya lagi saat melihat jas putih dengan logo Honjusang Hospital di dadanya.

Ia membuka lipatan tangannya dan berdiri tegap, "Ah, ne. Annyeong!"

"Annyeong." Minho sedikit tersenyum pada dokter yang memakai nametag bertuliskan "Park Jungsoo" itu. Namun, ia menghentikan senyumannya saat lagi-lagi mengingat hal yang tidak ia ingin ingat lagi. Meski begitu, ia tak ingin mengambil kesimpulang bahwa orang yang berada di hadapannya adalah orangnya. "Ahjussi adalah dokter disini?"

"Hmm, ne. Ahjussi praktek hanya 2x seminggu disini." jawabnya kemudian suara pintu lift yang terbuka tiba-tiba terdengar. "Sampai jumpa."

***

PART 5

Author: Tia31

Cast: SHINee’s Choi Minho, T-Ara’s Park Jiyeon, EXO-M’s Kris, SHINee’s Taemin, EXO-K’s Sehun

Genre: Romance, Family, (Sedikit) Sci-Fi

Rating: PG-13

 

Jiyeon melangkahkan kakinya keluar kamar mandi. Selama mandi, ia terus membayangkan isi amplop yang belum sempat ia buka sedari kemarin itu. Sebuah wasiat? Alasan kenapa Minho menjadi seperti sekarang?Diari perselingkuhan Yoen Gyeom?Jiyeon memukul kepalanya sendiri karena telah berpikir seperti itu.

Setelah mengganti bajunya, Jiyeon langsung membuka tasnya dan mengambil amplop tersebut.Ia melangkahkan kakinya ke meja makan untuk menghindari eommanya. Tak mungkin ia menceritakan hal ini padanya eommanya saat ini.

"Semoga tidak ada apa-apa." Jiyeon merasa sedikit gugup. Ia mengambil amplop kecil putih itu dan memejamkan matanya selama membuka amplop itu dan mengambil surat. Setelah merasa surattersebut sudah berada di genggaman tangannya, ia akhirnya membukanya...

Hello, dear...

Choi Minho? Is it your name? I suggested that name to your father before your birth and then he immediately agreed. So it is definitely Choi Minho who is reading this message, isn't it?^^

How are you, dear? Do you miss me? It's OK, if you don't. But something that I have to say isI  miss you, definitely, however i am right now. I don't know when will you read this message, but i know that you will soon.

Let's go to the point. You must have seen one piece of paper thatis attached to the first and big envelope, haven't you? Ahahah you must be really confused right now. What is it for? What does it mean?

At first, I didn't know that I would write this message. But then, something happened and pushed me to write this message to my be-born-soon son. By the way, how many times have you seen the same papers?  I put 2 papers in 2 different medical books, so you have to find another one, k? The first one is in "The Nervous System" book, the second one is in this book, "The Virus Vol. 2".

Do you see the word on it? It's "FAILED".

When i was graduated from college, i used to make a list of incurable desease in the world and tried to create the medicine by myself besides being a doctor. Finally, i successfully created the medicine to heal servical cancer, most deadly cancer in the world, just before i had you in my womb.After that, I was determined to make two othermedicines,medicines for syndrome caused by HIV, AIDS and Creuxtfeldt-Jakob desease that attacks the human nervous system. But then I found that I could not do anything more.So I put two pieces of paper in each, virus book, and nervous system book and decided to write this message.

Could you please continue my intention? I really hope that you can make the two other medicines that I couldn't do, especially the AIDS one. That's why I put the message here. I know, son of Choi Yeon Gyeom and Jang Gaeun must be able to do it, right? ^^

I knew it, your father would definitely be asking you to become a doctor just like us. Sorry if this is going against you but I'm sure that nothing we can't do. It is all about your integrity and sincerity. Trust me.^^

That's all I have to say. I intentionally wrote this message in english so nobody will be able to read this message except you and your father (but I don't expect this).

사랑한다, My son ^^

Your Mom who will always love you.

Jiyeon menghela nafasnya kemudian menghembuskannya berkali-kali.Ia kembali memejamkan matanya, menyesali perbuatannya. Ia baru sadar bahwa tak seharusnya membuka surat tersebut dan membacanya.

"Apa yang harus kulakukan?" Jiyeon mendesah.

Memberikannya pada Minho?Sama saja dengan membunuh dirinya sendiri. Menyimpannya? Sama saja ia mencuri dari Minho.

Akhirnya, Jiyeon memilih untuk melipat kembali kertas tersebut dan memasukannya ke dalam amplop.Ia membuat amplop tersebut kembali seperti semula dan kembali ke kamarnya untuk tidur.

***

"Kita sampai." seru Minho kemudian tersenyum pada Eunmi yang kini menatap keluar jendela.Tanpa menunggu jawaban Eunmi, Minho langsung turun dari mobilnya dan mengambil tongkat Eunmi yang berada di bangku bagian belakang.Ia membuka pintu untuk Eunmi dan membantu gadis kecil tersebut untuk memakai tongkatnya. "Genggam tangan oppa, arachi?"

Eunmi mengangguk dan tersenyum seraya menatap Minho dalam. "Oppa..."

"Ne?" jawab Minho sambil menuntun Eunmi masuk ke rumah.

"Oppa punya yeojachingu?" Seketika langkah Minho terhenti tepat di depan pintu rumah, ia menatap Eunmi bingung.

"Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Minho bingung.

"Bukankah biasanya namja seumuran oppa memiliki yeojachingu?" Minho pun tertawa karena Eunmi justru bertanya balik. Biasanya, ia tak ingin membahas tentang ini pada siapa pun, namun sepertinya gadis kecil di hadapannya ini memiliki cara lain untuk membujuknya.

"Bagaimana jika oppa tidak tertarik pada yeoja mana pun di dunia ini?"

"Maksud oppa, oppa hanya tertarik pada namja?" Mata Eunmi terbelalak. "Apakah oppa menyukai Taemin oppa... atau... Sehun oppa?"

Kali ini, pernyataan Eunmi betul-betul mengundang tawa Minho.Minho tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang mulai sakit. "Bukan begitu maksud oppa."

"Lalu?" kata Eunmi, "Bukankah namja baik selalu memiliki yeojachingu?"

Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka dan Baekho muncul dibaliknya. Ia tersenyum pada Eunmi dan membungkuk sambil memberi salam, "Annyeonghaseyo. Baekho imnida."

Namja bertubuh tegap yang mengenakan jas serta dasi kupu-kupu tersebut membuat Eunmi sedikit bingung sebelum akhirnya Minho menjelaskan, "Baekho adalah kepala pelayan disini."

Setelah melihat Eunmi mengangguk-anggukan kepalanya, Minho mulai kembali menuntunnya menuju kamar yang sudah disiapkan.Kamar yang cukup besar untuk seorang anak kecil seusia Eunmi.

Di emat sisi ruangan tersebut, Eunmi dapat melihat empat poster sepak bola. Eunmi melangkahkan kakinya menuju sebuah pigura besar yang terpampang di dinding dan berseru pada Minho yang sedang duduk di atas kasur, "Ini oppa?" tanyanya sambil menunjuk pigura yang berisi foto seorang namja bertubuh tinggi yang sedang mengenakan Dobok (seragam taekwondo) dan memegang piala besar.

"Betul." jawab Minho kemudian menghampiri Eunmi.

"Dulu ini adalah kamar oppa?"

"Ne. Sebenarnya kamar oppa ada dua." Minho berjalan ke sebuah pintu dan membukanya. "Ini kamar oppa lainnya."

Minho menangkap ekspresi bingung Eunmi yang menyiratkan pernyataan, "Kenapa harus ada dua kamar?" Ia pun tersenyum, "Awalnya ini adalah ruang pribadi tempat oppa menaruh piala-piala juga peralatan yang lain, dan kamar satunya untuk tidur."

"Memangnya tidak apa-apa jika aku tidur disini?"

"Tentu saja tidak apa-apa, anak manis." Pertanyaan Eunmi membuat Minho gemas dan mengundangnya untuk mencubit kedua pipi Eunmi.

***

Jiyeon menatap bayangan tubuhnya dalam balutan pakaian renang di dalam kaca sambil menghembuskan nafasnya.Hari yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. "Saatnya untuk mendongkrak nilai olahragaku." gumamnya kemudian mengeratkan rahangnya.

Setelah sekian lama, akhirnya pelajaran renang akan dimulai. Renang adalah satu-satunya olahraga yang Jiyeon bisa. Oleh karena itu, Jiyeon akan berusaha sebaik mungkin dalam materi ini agar mendapat nilai yang terbaik.

Namun rasa ragu seketika menyusup ke hati Jiyeon.

"Jiyeon-ah, ayo cepat keluar! Kim ssaengnim sudah memanggil!" seru seorang teman sekelasnya yang sedang menunggunya keluar di depan pintu.

Jiyeon langsung bergegas menuju kolam renang dimana teman-temannya sudah berkumpul.Untuk sekilas, Jiyeon dapat melihat Kris yang sedang berbicara dengan Sehun di sudut kolam renang dengan celana renangnya tanpa balutan sehelai benang pun di dadanya.

Setelah itu, matanya dengan jeli mencari sosok Choi Minho.Sambil berharap-harap cemas, Jiyeon mencoba untuk mensugestikan dirinya bahwa bukan Minho lah lawannya nanti. Jika tidak, Jiyeon mengira bahwa Minho pasti akan mencapai garis finish terlebih dahulu dan mendapatkan nilai lebih tinggi darinya.

Akhirnya Minho muncul dari ruang ganti dengan celana renangnya.Namun, dari wajahnya Jiyeon dapat menangkap bahwa ada yang salah dengan dirinya saat ini.Tak seperti saat pelajaran olahraga, Minho kelihatan tidak terlalu percaya diri.

Apa dia tidak bisa berenang? Jiyeon terkekeh.

"Semuanya berbaris di sudut sini." Seruan Kim ssaengnim membuat seluruh siswa berkumpul dan membentuk barisan. "Sebelumnya kalian harus melakukan pemanasan. Kris, bisa bantu saya?"

Akhirnya Kris maju dan memimpin sesi pemanasan.Setelah semuanya selesai, Kim ssaengnim mulai membagi kelompok.

Jiyeon menghembuskan nafasnya dengan berat saat mendengar nama Choi Minho dalam urutan teman satu kelompoknya, yang berarti nantinya ia akan mengambil nilai dengan Minho. Kali ini tolong beri aku kesempatan, Tuan Choi Minho, ucapnya dalam hati.

Waktu pelajaran olahraga berlalu cepat sampai akhirnya menyisaka dua kelompok untuk mencoba berenang. "Semua grup harus siap di pertemuan berikutnya untuk pengambilan nilai ulang."

Setidaknya Jiyeon masih memiliki waktu untuk latihan, sekaligus untuk mengendurkan otot-ototnya yang sudah lama tidak berolahraga.Akhirnya semua bubar dan mengganti pakaian mereka.

***

"Kalau bukan sekarang kapan lagi." ucap Jiyeon sambil membawa tasnya menuju kolam renang belakang sekolah.Kebetulan, keadaan sekitar sangat sepi.Ia berjalan menuju ruang ganti dan mengganti seragamnya dengan pakaian renang. Sekali lagi ia menatap kaca dan bergumam, "Nilai olahraga!"

Setelah merasa siap, Jiyeon melangkahkan kakinya keluar ruang ganti.Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok seorang namja bertubuh tinggi dengan celana renang yang sedang melakukan pemanasan.

Jiyeon putuskan untuk mengumpat dibalik pintu sambil memperhatikan namja tersebut. Setelah selesai dengan pemanasannya, ia melangkah mendekat ke tepi kolam renang. Sesekali ia celupkan kakinya dengan enggan, membuat Jiyeon mengerutkan dahinya. Apa dia tidak bisa berenang?

Namja itu akhirnya memilih untuk duduk di tepi kolama dan memasukkan kakinya secara perlahan ke dalam kolam. Untuk beberapa saat ia berdiam diri sambil menyesuaikan kakinya di dalam kolam. Namja itu mendesah dan memejamkan matanya."AAARRRGGGHHH!!!" geramnya.

Jiyeon pun tersentak dan memegang dadanya. Seperti tali yang terikat dengan erat, kakinya tak dapat ia gerakkan untuk menghampiri namja itu.

Tiba-tiba namja itu berdiri dan menyiapkan tubuhnya.Ia bersiap-siap untuk masuk ke kolam renang dengan melompat melalui penampang tertinggi.

BUSHHH

Ia mendarat dengan baik. Namun...

Tiba-tiba saja ia menghilang. Tak mendapati sosoknya, Jiyeon memutuskan untuk berlari dan langsung melompat masuk ke kolam renang.

"MINHOOO!!!" serunya sambil berenang mencari sosok namja itu.Setelah berenang cukup lama, akhirnya sosok Minho muncul ke permukaan.

Jiyeon buru-buru menghampiri Minho dan mendapatinya tak sadarkan diri.Dengan sigap, Jiyeon membawanya kepinggir kolam reanang. Ia membaringkan Minho di tepi kolam renang, menaruh telunjuknya tepat di depan hidung Minho untuk memeriksa apakah ia masih bernafas atau tidak.

"Aigoo, dia tidak bernafas." Jiyeon mulai panik."Bagaimana ini, aku tidak mungkin melakukan hal itu..."

Ia menatap tubuh Minho yang basah kuyup.Untuk beberapa saat, Jiyeon berusaha untuk menyingkirkan egonya. "Tidak ada cara lain..."

Akhirnya Jiyeon mulai menekan dada Minho dengan kedua tangannya agar air yang berasa di dalamnya bisa keluar.Kemudian, Jiyeon meletakan salah satu tangannya di bawah leher Minho dan sedikit mengangkatnya agar saluran pernafasannya terbuka.Sebelumnya, Jiyeon memejamkan matanya sambil menggeleng-geleng.Orang ini butuh bantuan dan aku tidak mungkin membiarkannya seperti ini, Jiyeon terus mencoba menyingkirkan egonya. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan segera meniupkannya ke mulut Minho sambil menutup hidung Minho dengan tangan satunya.

Jiyeon membelalakan matanya saat bibirnya menyentuh bibir Minho.

Manis... Sangat manis...

Untuk beberapa saat ia tidak menghiraukan hal tersebut dan melanjutkan proses pernafasan buatan tersebut. Akhirnya Jiyeon melepaskan bibirnya dari Minho dan detik berikutnya Minho pun terbangun.Ia terbatuk untuk berkali-kali sambil mengeluarkan air dari mulutnya.

Minho membuka matanya dan mendapati wajah Jiyeon yang berada tepat di atas kepalanya. Dapat Minho lihat, Jiyeon menatapnya khawatir kemudian Jiyeon berkata, "Kau merasakan sesuatu?"

"Pusing." jawab Minho pelan sambil menyentuh kepalanya.

Setelah mendengar jawaban Minho, Jiyeon langsung memapah Minho menuju tempat duduk terdekat dan merebahkannya disana kemudian berlari menuju ruang ganti setelah berkata, "Tunggu sebentar."

Saat tak menemukan Jiyeon lagi di dekatnya, Minho menyentuh bibirnya. "Kenapa begitu manis rasanya?" gumamnya. Rasanya aneh dan bibirnya terasa begitu manis.

Tak berapa lama, Jiyeon kembali dan membawakan handuk untuk Minho. Ia membalut tubuh Minho dengan handuk dan tak lupa memberinya sebotoh air mineral yang ia bawa dari rumah untuk Minho.

"Minumlah." Jiyeon menyodorkan sebotoh air mineral untuk Minho minum.

Sekilas, Minho menatap Jiyeon kemudian mengambil botol air mineral tersebut. Ia meneguknya sebanyak tiga kali dan memberikannya kembali pada Jiyeon kemudian menyenderkan tubuhnya di senderan kursi menutup matanya sekejap.

"Apa masih pusing?" tanya Jiyeon khawatir.

"Sudah baikkan." jawab Minho kemudian sedikit tersenyum pada Jiyeon.Bagaimanapun, Jiyeon telah menyelamatkannya, bahkan nyawanya.Ia menyadari bahwa tak seharusnya memperlakukan Jiyeon sebegitu dinginnya.

Untuk beberapa saat, tak ada yang angkat bicara sampai akhirnya Jiyeon bersuara, "Jadi... kau tidak terlalu pandai berenang?" tanyanya sedikit berhati-hati.

"Bukan tidak terlalu pandai, tapi memang tidak bisa." jawab Minho singkat.

"Arrasseo."

"Bagaimana denganmu?" Minho menatap lurus ke depan.

"Ini adalah satu-satunya olahraga yang kukuasai dan kurasa ini adalah satu-satunya olahraga yang tidak kau kuasai." jawab Jiyeon kemudian sedikit tertawa canggung.

Melihat Jiyeon tertawa seperti itu, Minho pun berusaha tertawa juga agar suasana tak semakin canggung, "Kenapa?"

"Agar penyakitku tidak kambuh lagi."

"Maksudmu? Asma?"

Jiyeon mengangguk, "Jika asmaku kambuh, maka aku harus makan obat, dan obat itu mahal." Jiyeon menoleh pada Minho yang kini menatapnya namun tak mengeluarkan jawaban. "Kau tidak suka berenang?"

"Fobia air."

"Benarkah? Apa kau punya kenangan buruk?" Tanpa Jiyeon sadari, mereka berdua sudah berbicara cukup jauh.

"Tidak." jawab Minho singkat.

"Lalu?"

"Orang bilang, eommaku fobia air." jawab Minho, Jiyeon pun tertegun. Ia kembali mengingat surat dari eomma Minho. Jiyeon tak menjawabnya selain dengan tersenyum.

"Oh ya, gomawo." ucap Minho pelan. Lagi-lagi Jiyeon tertegun saat mendengar kata tersebut keluar dari mulut Minho.Gomawo.

"Ah ne, cheonmaneyo."

"Hari ini, kau tidak perlu datang ke rumah. Aku akan mengatakan pada Baekho bahwa aku sedang tidak enak badan."

"Ne, ba..." ucapan Jiyeon terpotong saat mendengar suara seorang yeoja yang berseru dari pintu masuk.

"Minho!" seru Soojung kemudain menghampiri Minho. "Kau baik-baik saja? Bukankah kau tidak bisa berenang?" tanya Soojung khawatir saat melihat rambut Minho yang basah karena berenang.

"Aku ingin ganti baju." Minho bangkit dan berjalan melewati Soojung dan melangkah menuju ruang ganti.

Sedangkan Jiyeon hanya bisa terpaku di tempatnya sampai Minho menghilang.Ia berdiri dan bergegas untuk pergi ke ruang ganti wanita."Annyeonghaseyo." ucapnya kemudian meninggalkan Soojung di dekat kolam renang.

***

Jiyeon berdiri di depan kaca sambil menyentuh bibirnya. Ia kembali teringat rasa bibir Minho yang begitu manis. "Kenapa begitu manis?"

Jiyeon menggeleng-gelengkan kepalanya saat menyadari sesuatu, "First kiss?" gumamnya namun ia buru-buru membantah, "Bukan, itu bukan sebuah ciuman, tapi sebuah pertolongan."

Sesosok bayangan seorang yeoja yang sedang membungkuk muncul di dalam kaca, membuat Jiyeon sedikit kaget."Annyeonghaseyo." sapanya.

"Annyeonghaseyo." jawab Jiyeon kemudian ikut membungkuk.

"Jiyeon-ssi?" Yeoja itu menghampiri Jiyeon.

"Ne, bagaimana kau bisa tahu?" Jiyeon sedikit tersenyum.

"Bukankah satu sekolah sudah tahu siapa murid kesayangan Jung ssaengnim?" Soojung tersenyum manis pada Jiyeon.

"Ah ne..."

"Tidak perlu canggung seperti itu, aku hanya ingin berbicara sebentar." Soojung menyentuh pundak Jiyeon sambil tetap tersenyum. "Apakah kau dekat dengan Minho?"

Jiyeon tertegun, Pasti karena tadi. "Anni."

"Jinjja? Kuharap hal tersebut akan berlanjut sampai kapan pun. Bisakah kau untuk tidak mendekatinya?" ucapan Soojung terdengar lembut namun cukup pedas di telinga Jiyeon.

"Tentu saja." jawab Jiyeon.

***

Seorang namja bertubuh tinggi melangkahkan kakinya keluar lift. Ia berjalan menuju sebuah pintu kemudian membukanya dengan perasaan sedikit ragu.

"Annyeonghaseyo." sapanya pada seorang namja yang sedang berdiri di dekat tirai.

"Ne." namja itu mendekat dan duduk di hadapin namja tadi tanpa menyuruhnya untuk duduk, "Langsung saja..." ia menghentikan kata-katanya. Namja tinggi itu kemudian menghela nafasnya. "Apa sebenarnya tugasmu?"

"Menjaganya." jawab namja tinggi tadi dengan tegas.

"Dan bukan untuk jatuh cinta padanya." nada suara namja yang sedang duduk itu terdengar pelan namun cukup menancap di hati sang namja tinggi.

"Arasseo. Aku tidak akan melakukannya." namja tinggi itu menjawabnya pelan namun lirih.

"Baguslah kalau begitu."

***

"Oppa! Oppa! Bangunlah!" suara Eunmi yang memekik keras seketika membangunkan Minho dari tidur lelapnya.Ia membuka matanya dan mendapati Eunmi sedang duduk di tempat tidurnya sambil menyunggingkan senyuman lebar.

"Eunmi-ya, sekarang masih pagi." lenguh Minho sambil menarik selimutnya dan berbalik badan.

"Pukul sembilan pagi, oppa. Saatnya bangun." Eunmi menarik selimut Minho dan memainkan rambut coklatnya.

Semalaman Minho bermain playstation di rumah Taemin bersama Sehun hingga lupa waktu.Matanya betul-betul tidak sanggup untuk terbuka saat ini. "Sepuluh menit lagi, OK?"

"Baiklah." Akhirnya Eunmi memilih untuk turun dari tempat tidur Minho dan memutuskan untuk menjelajahi isi kamar Minho dengan tongkatnya.

Tujuan pertama Eunmi adalah lemari pakaian Minho, seluruh pakaiannya tersusun rapih di dalam sebuah lemari besar.Beberapa jas serta kemeja tergantung di sisi kiri dan beberapa baju santai terlipat rapi di bagian atas disebelah deretan aksesoris, serta beberapa pasang seragam terletak di bagian kanan.Dengan begitu, Eunmi menyimpulkan bahwa Minho adalah orang yang cukup fashionable dan sangat rapi.

Setelah tiga hari tinggal di rumah tersebut, Eunmi ak pernah menemukan kamar Minho dalam keadaan berantakan.

Kini ia beralih ke meja belajar Minho yang juga tersusun rapi. Beberapa buku pelajaran tertata rapi di sebuah rak buku. Yang Eunmi bingungkan adalah, ia tidak pernah melihat Minho belajar.

Eunmi merasa waktu sudah berjalan selama 10 menit dan memutuskan untuk membangunkan Minho kembali. "Oppa, bangunlah. Sudah sepuluh menit." Kini Eunmi berhasil membuat Minho membuka matanya.

"Baiklah, baiklah." Minho bangun dan secara tiba-tiba memeluk Eunmi.Ia membekap Eunmi sambil menyeringai tanpa mendengar suara pemberontakan dari Eunmi.

"Oppa! Lepaskan!" seru Eunmi namun Minho tak kunjung melepaskannya.

Akhirnya Eunmi menyerah dan menikmati pelukan Minho untuk beberapa saat. Minho tiba-tiba saja bersin dan membuat Eunmi sedikit risih, "Oppa! Jorok sekali!"

Minho tertawa dan melepaskan Eunmi untuk segera menuju kamar mandi.Ia mencuci mukanya dan menggosok gigi.Bibirnya yang pecah-pecah kini terluka dan mengeluarkan setitik darah.Minho buru-buru menghapus darah itu dengan jari telunjuknya.Namun setelah darah tersebut sirna, Minho terus menyentuh bibirnya.

"Manis. Seperti gula." gumamnya, namun detik kemudian Minho tersadar dan keluar dari kamar mandi.

Baru saja Minho keluar dari kamar mandi, Eunmi sudah menghambur kepadanya dan berkata, "Ingat janji oppa yang kemarin?"

"Ahh ne, baiklah. Ayo kita turun." Minho akhirnya menggendong Eunmi untuk turun ke bawa dan membawanya masuk ke ruang belajarnya dengan piyamanya yang belum ia lepas. Ia meminta Eunmi untuk duduk di sebuah sofa yang terletak di sudut ruangan kemudian menghampiri sebuah lemari kecil.

"Lagu apa?" tanyanya saat mengeluarkan sebuah biola kesayangannya dari sarung biola.

***

Baru saja Jiyeon membuka matanya, ia dapat merasakan ponselnya yang dering dan bergetar di bawah bantalnya. Sebuah SMS. Baekho Ahjussi.

Baekho Ahjussi.

Jiyeon-ah, bisakah kau datang kemari pukul 10 pagi?

Setelah membaca pesan tersebut dengan mata yang masih sedikit terpicing, akhirnya Jiyeon langsung menjawabnya.

Park Jiyeon

Baiklah ahjussi, aku akan datang tepat waktu :)

Jiyeon segera bangkit dari tempat tidurnya untuk lekas ke kamar mandi, namun sebelumnya ia tak lupa untuk memberikan kecupan selamat pagi kepada Yoondae. Setelah selesai mandi, Jiyeon langsung menyiapkan sarapan pagi dan menyantapnya bersama eommanya. Ia memasukkan beberapa peralatan mengajarnya dan bergegas menuju perpustakaan langganannya penuh dengan harapan akan bertemu dengan Kris.

Beruntung, Jiyeon lagi-lagi menemukan Kris yang sedang membaca sebuah komik di bagian belakang perpustakaan.Namun kali ini ekspresinya begitu serius, tak seperti waktu itu.Untuk beberapa lama, Kris tak menyadari kehadiran Jiyeon dan Jiyeon tak ingin mengganggu Kris.

Akhirnya komik bergenre action dan mytery itu dilahap habis oleh Kris. Kris tersenyum pada Jiyeon yang sedang duduk di hadapannya sambil memandanginya, "Jiyeon-ah?"

"Ne." Jawab Jiyeon sambil tersenyum.

Jadilah selama satu jam penuh mereka isi dengan berdiskusi tentang beberapa komik. Sesekali petugas menegur mereka, bahkan suaranya hampir meninggi karena kegaduhan yang mereka ciptakan dari tawa mereka. Jiyeon pun sadar bahwa ia memang menyukai Kris karena sosoknya yang begitu hangat dan sangat pengertian.

"Aishh, sebentar lagi aku akan terlambat." Jiyeon bangkit dari tempat duduknya dan merapikan beberapa komik yang ia ambil. "Aku pergi dulu. Annyeonghaseyo."

Kris dengan sigap menahan tangan Jiyeon, "Biar kuantar, arasseo?"

Jiyeon menggeleng, namun sebelum ia sempat menjawab, Kris berbicara terlebih dahulu, "I'm not accepting any rejection."

Akhirnya Jiyeon mengalah dan bersedia untuk diantar oleh Kris dengan mobilnya.Hanya perbincangan ringan yang muncul saat perjalanan menuju rumah Minho.

"Sekali lagi, gomawoyo." jawab Jiyeon saat baru saja keluar dari mobil Kris.

"Tentu, cheonmaneyo." Kris tersenyum pada Jiyeon dan memutar balikkan mobilnya.

Jiyeon akhirnya masuk ke rumah dan setelah menemui Baekho di depan pintu masuk, "Minho weisamchon sudah berada di ruang belajar. Kau bisa segera masuk."

"Ne." Jiyeon pun langsung melangkah masuk dan berhenti tepat di depan pintu ruang belajar itu. Baru saja Jiyeon menyentuh knop pintu, sebuah suara biola terdengar.Dengan perlahan Jiyeon membuat celah di pintu tersebut.

Sebuah alunan musik klasik berjudul Canon in D Major, lagu kesukaan Jiyeon terdengar merdu dari permainan biola seorang namja dengan balutan piama.Namja tersebut terlihat begitu menghayati permainannya dengan menutup matanya.Dengan lihai, tangannya menggesekkan busur biola ke senar biola dan menciptakan suara merdu.Untuk beberapa saat, Jiyeon terhanyut dalam permainan biola namja itu.

Suara tepuk tangan menyadarkan Jiyeon."Oppa hebat!" suara nyaring seorang anak kecil membuat Jiyeon kaget dan membuka pintu tersebut lebih lebar dengan perlahan agar dapat melihat siapa yang berada di dalam.

Minho membentangkan tangannya, meminta gadis kecil itu untuk memeluknya.Gadis itu tersenyum dan membenamkan tubuhnya dalam pelukan hangat Minho yang juga tersenyum. Kali ini Jiyeon menyadari betapa hangatnya seorang Choi Minho yang ia anggap sebagai orang paling dingin sedunia.

"Hmm bau!" seru Eunmi setelah melepaskan pelukannya dari Minho dan mengerucutkan bibirnya.

"Ya! Enak saja!" Minho pun terpancing untuk mencium piyamanya. "Tidak bau kok!" Minho menggelitiki Eunmi dan tertawa bersama sampai akhirnya mereka menyadari kehadiran Jiyeon.

Karena sudah tertangkap basah, Jiyeon memilih untuk masuk dan memberi salam, "Annyeonghaseyo." ucapnya.

"Oppa, apakah eonni itu adalah yeojachingumu?" celetuk Eunmi yang dijawab oleh tatapan kaget serta tajam oleh Minho.

Jiyeon tertawa karena tingkah laku Eunmi yang begitu lucu. "Oppa, kenapa diam saja?" Eunmi akhirnya sedikit mendorong Minho. Jika ia bisa berjalan dengan baik, Eunmi berjanji akan mendorong Minho sampai ke yeoja itu.

"Ya! Dia bukan yeojachingu oppa, arasseo?" gerutu Minho kemudian mencubit pipi Eunmi.

"Lalu?"

"Kami akan belajar biologi bersama." jawab Jiyeon kemudian tersenyum pada Eunmi.

"Baiklah, kalau begitu oppa mandi dulu sana." perintah Eunmi.Jiyeon lagi-lagi tertawa karena sikap Eunmi yang begitu cerewet. "Eonni, duduklah."

Setelah Minho lenyap dibalik pintu, Jiyeon melangkah menuju sofa dimana Eunmi duduk.Tanpa canggung, Eunmi mengulurkan tangannya pada Jiyeon, "Eunmi imnida." ucapnya ramah.

"Jiyeon imnida." Jiyeon menyambut tangan kecil Eunmi dengan baik kemudian tersenyum.

"Eonni, apakah eonni adalah yeojachingu Minho oppa?" tanyanya langsung.

"Ne?" Jiyeon terkekeh karena pertanyaan Eunmi. "Anniya, kami hanya teman."

"Jinjjayo?" Eunmi mengerutkan keningnya dan menaruh telunjuknya di dagu. "Bagaimana kalau eonni menjadi yeojachingu oppa?"

Lagi-lagi Jiyeon terkekeh."Kami hanya teman." jawabnya sambil tersenyum canggung.

"Sepertinya eonni jauh lebih baik daripada yeoja yang datang kesini kemarin sore." ujar Eunmi.

"Yeoja? Boleh eonni tahu siapa orangnya?"

"Hmm... Cukup cantik dan cukup ramah, tapi entah kenapa, aku tidak terlalu menyukainya. Namanya... Sebentar... Ah ne, Jung Soojung."

Jiyeon terdiam dan kembali teringat atas peringatan Soojung tempo hari. "Bukankah ia sangat cantik?"

"Ahh ye. Tapi aku tak begitu menyukainya." Eunmi melipat tangannya di dada dan melanjutkan. "Ia terlihat begitu menyukai Minho oppa, tapi menurutku mereka tidak cocok sama sekali."

"Ahh, jinjja? Kurasa mereka sangat serasi."

"Anni! Mereka sangat-sangat tidak serasi!" bantah Eunmi langsung.

Tak terasa, berbincangan mereka berlangsung cukup lama.Minho datang dan menghampiri Eunmi. "Apa yang kau katakan, gadis cerewet?"

"Anniya, hanya sedikit bercerita."

Minho sedikit senang, Eunmi bisa dengan cepat dekat dengan Jiyeon, tak seperti Soojung. Setelah kunjungan Soojung kemarin, Eunmi terus menggerutu sambil mengomentari apa saja yang Soojung lakukan. "Ia hanya membawakan pizza itu untuk oppa. Ia tidak memikirkan Sehun oppa dan Taemin oppa yang datang bersamanya."  gerutu Eunmi kemarin.

"Eunmi agassi, weisamchon akan segera belajar." Eunmi mengerti dan bangkit berjalan menuju Baekho dengna tongkatnya.

"Selamat berduaan, oppa dan eonni." ucapnya kemudian langsung lenyap di balik pintu.

"Tsk!" gerutu Minho sedangkan Jiyeon tertawa.

"Bukankah dia lucu?" tanya Jiyeon.

"Ne." Jawab Minho singkat.Kini Minho kembali seperti semula, seperti biasanya.Ia berjalan menuju kursi dan duduk.

Jiyeon melakukan hal yang sama dan membuka tasnya. "Weisamchon, dia... adikmu?" tanya Jiyeon hati-hati.

"Sejak empat hari yang lalu."

Jiyeon baru saja mengingat nama "Eunmi" yang pernah Minho ucapkan saat percakapan melalui telepon. Tak disangka-sangka, pemilik nama tersebut adalah seorang gadis kecil yang cerewet.

Minho bangkit dari kursinya dan menghampiri rak buku. Ia mengambil kedua buku yang sempat ia dan Jiyeon baca kemudian menghampiri Jiyeon untuk memberikan buku tersebut. "Gom... gamsahamnida." ucap Jiyeon saat menerima buku tersebut.

"Tidak perlu memanggilku weisamchon lagi. Cukup Minho saja."

"Ne. Aku mendengar permainan biolamu tadi." Minho mendongakkan kepalanya yang sedang membaca buku dan menatap Jiyeon yang menyiratkan senyum canggung.

"Ah ne." jawabnya singkat.

"Daebak."

"Gomawo."

Akhirnya, lagi-lagi dua jam hanya terpakai untuk membaca buku. Awalnya, Jiyeon berniat untuk menanyakan buku "The Nervous System" yang disebut-sebut dalam surat tersebut, dengan begitu ia akan mengetahui bahwa Minho sudah menemukan secarik kertas itu atau belum. Namun, ia mengurungkan niatnya saat melihat wajah serius Minho yang sedang membaca buku.

"Aku pergi dulu. Annyeonghaseyo." Jiyeon membungkuk pada Minho yang tanpa disangka-sangka membalas membungkuknya.

"Ne." jawabnya singkat.

Jiyeon melangkah keluar ruangan, namun tak mendapati Baekho sekalipun.Mungkin sedang bermain bersama Eunmi, gumamnya. Ia putuskan untuk berjalan keluar rumah sendirian.

Ketika sampai di depan pintu rumah, sebuah mobil mewah melintas tepat di hadapannya. Seorang yeoja cantik yang wajahnya tidak asing bagi Jiyeon keluar dari mobil tersebut.Saat itu, Jiyeon berusaha untuk mengingat siapa yeoja tersebut.

Jang Gaeun!seru Jiyeon dalam hati.

Sosok yeoja tersebut betul-betul mirip dengan seseorang yang dengan hanbok dalam pigura besar di ruang keluarga.Tiba-tiba saja Jiyeon merasakan keringat dinginnya bercucuran.Tidak mungkin, aku tidak mungkin bertemu dengan arwahnya bukan?